EKBIS.CO, JAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dinilai akan berlanjut hingga beberapa minggu ke depan. Hal ini dikarenakan pasar yang masih menunggu keputusan bank sentral AS the Fed pada Desember mendatang terkait suku bunga Fed Fund Rate.
Ekonom dari Kenta Institute Eric Sugandi menjelaskan, rupiah masih akan bergejolak di kisaran Rp 13.300 hingga Rp 13.800 per dolar AS hingga pertengahan Desember mendatang
"Rupiah masih akan volatile nanti sampai ada keputusan Fed sekitar Desember pertengahan. Setelah rupiah tertekan jauh seperti sekarang ini saya yakin Bank Indonesia akan intervensi untuk volatilitas tidak terlalu besar,"ujar Eric pada Republika.co.id, Jumat (11/11).
Meski rupiah terdepresiasi cukup tajam, kata Eric, tetapi ada potensi untuk kembali menguat. Seperti yang terjadi pada perdagangan Jumat ini, berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat menyentuh titik terendah di Rp 13.865 per dolar AS dan ditutup dengan menguat ke Rp 13.383 per dolar AS, setelah bergerak di kisaran Rp 13.233-13.873 per dolar AS.
"Kalau rupiah depresiasi cukup tajam itu kan ada potensi untuk rebound, cuma ada kemungkinan bahwa rupiah underpressure sampai keputusan Fed tiba," tutur Eric.
Eric menjelaskan, pelemahan rupiah yang terjadi pada hari ini disebabkan oleh persepsi pasar terhadap kebijakan ekonomi Presiden terpilih AS Donald Trump. Kebijakan Trump yang akan melakukan kebijakan fiskal ekspansif dinilai akan menimbulkan tekanan inflasi. "Dari sisi demand, nah ini market player banyak yang berpikir kalau tekanan inflasi besar, maka Fed akan lebih agresif menaikkan suku bunga. Tapi ini masih persepsi," ujarnya.
Selain itu, dengan kebijakan fiskal Trump yang ekspansif dan pemangkasan pajak akan menimbulkan defisit anggaran yang membengkak. Dengan demikian, pemerintah AS harus menambah surat utang, dan berdampak pada price dari surat utang bisa turun karena suplai bertambah atau yield naik. "Kalau yield naik akan berpengaruh terhadap arus pergerakan modal. Dengan yield yang tinggi mungkin banyak yang lari ke sana. Tapi ini masih persepsi juga," ujarnya.
Dari sisi domestik, permintaan dolar AS korporasi di Indonesia menjelang akhir tahun cenderung tinggi karena kebutuhan bayar utang dan belanja. Dengan berkaitan faktor pertama, korporasi yang tidak melakukan lindung nilai atau hedging atau hanya hedging parsial akan mengalami kepanikan.
Faktor lain yang memperparah anjloknya 1 kurs rupiah adalah distribusi valas yang tidak merata di sistem perbankan Indonesia dan kondisinya yang cukup ketat. Sementara ini valas banyak yang terkosentrasi di bank-bank besar.
"Meskipun ada tax amnesty masuk. Tapi kan belum semuanya masuk. Tapi dengan kondisi demand tinggi bukan hanya korporasi tapi bond holders (pemegang obligasi) kalau tidak melakukan hedging tentu dia akan minta beli dolar AS sekarang kalau dia khawatir rupiahnya akan anjlok. Semua itu menambah pressure juga kepada rupiah," tuturnya.