EKBIS.CO, JAKARTA -- Anjloknya nilai tukar rupiah dan mata uang negara berkembang lain pada hari ini (11/11) karena pengaruh keluarnya modal atau capital outflow dari pasar obligasi. Pada penutupan perdagangan akhir pekan ini rupiah ditutup sebesar Rp 13.383 per dolar AS, setelah bergerak di kisaran Rp 13.233-13.873 per dolar AS. Rupiah sempat terdepresiasi hingga Rp 13.865 per dolar AS.
Analis Obligasi dari Mega Capital, Adra Wijasena mengatakan, anjloknya rupiah dan mata uang lainnya pada hari ini disebabkan kondisi di AS. "Investor khususnya investor asing khawatir bahwa bank sentral AS akan segera menaikkan suku bunga acuan. Hal ini dikarenakan program ekonomi yang diusung Donald Trump akan memicu inflasi," ujar Adra pada Republika.co.id.
Menurut Adra, volatilitas nilai tukar rupiah ini masih akan terjadi sampai adanya kepastian kenaikan suku bunga The Fed Desember mendatang. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia akan menggunakan cadangan devisa untuk intervensi pasar dan berakibat pada berkurangnya cadangan devisa.
Di sisi lain, ketidakpastian yang tinggi pada pasar global biasanya akan membuat investor kurang berminat masuk pada lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang akan diadakan pemerintah pada akhir tahun ini. "Jika total permintaan yang masuk kecil, pemerintah terpaksa harus menyerap lelang SBN dengan yield tinggi. Hal ini bisa meningkatkan cost of fund yang ditanggung pemerintah," tuturnya.
Jika lelang kurang berhasil, maka pemerintah bisa melakukan private placement atau penempatan SBN pada lembaga yang ditunjuk pemerintah. Adra menegaskan, untuk menjaga kepercayaan investor, pemerintah harus menjaga fundamental ekonomi yang baik. Salah satunya dengan menjaga defisit transaksi berjalan tetap rendah. "Rendahnya defisit bisa berdampak pada kestabilan rupiah dan suku bunga," katanya.
Baca juga: Rupiah Diperkirakan Terus Anjlok