REPUBLIKA.CO.ID LOMBOK TIMUR -- Produsen benih sayuran hibrida tropis cap Panah Merah, PT East West Seed Indonesia (Ewindo), membuat terobosan baru dengan mengenalkan benih bawang merah varietas sanren F1. Direktur Ewindo Afrizal Gindow mengatakan, bawang merah varietas baru ini merupakan hasil penemuan dari peneliti Ewindo di Indonesia.
Dia berharap, terobosan ini mampu mendukung upaya pemerintah mewujudkan target swasembada bawang merah pada 2017. Ia mengatakan, bawang merah sanren F1 memiliki keunggulan mampu berproduksi dengan baik ketika ditanam pada musim kering maupun hujan.
Ewindo telah melakukan uji coba selama 10 tahun sebelum akhirnya merealisasikannya untuk pertama kalinya di Lombok Timur. "Akhirnya kita pada tahun kesepuluh baru menemukan teknik budi daya yang tepat, kita menyarankan petani melakukan persemaian dulu, dari biji lalu persemaian itu pindah tanam," ujarnya dalam Festival Bawang Merah 2016 di Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuan Haji, Lotim, Kamis (17/11).
Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Direktorat Hortikultura agar bisa dikembangkan demi peningkatan produktivitas bawang merah. Dia menerangkan, penemuan varietas ini merupakan solusi terhadap persoalan yang dihadapi petani bawang merah di Indonesia.
Menurutnya, bibit bawang merah yang ada selama ini sulit untuk dibudidayakan pada musim hujan dengan curah hujan tinggi. Umumnya pada musim tersebut tanaman bawang akan mudah busuk dan rusak akibat serangan penyakit.
Salah satu penyakit yang seringkali menyerang tanaman bawang merah pada musim penghujan adalah busuk daun. Serangan penyakit ini dapat menyebar dengan cepat dan menyebabkan kerusakan 50 persen tenaman dan bahkan dapat mencapai seratus persen. Potensi gagal panen dan kerugian yang dihadapi petani pun menjadi sangat tinggi.
Selain tahan terhadap penyakit, ia katakan, bawang merah sanren F1 juga memiliki bentuk, warna dan aroma yang sesuai dengan selera pasar dan konsumen. Selain itu untuk area tanam seluas satu hektare, benih atau biji yang dibutuhkan hanya sekitar 3 kilogram (kg) dengan hasil produksi yang mencapai 28 ton per hektare, atau lebih tinggi dibanding rata-rata hasil panen bawang merah nasional sekitar 8 hingga 12 ton per hektare.
Ia melanjutkan, sanrem F1 juga dapat beradaptasi dengan baik ketika ditanam di dataran rendah dengan ketinggian 50 – 100 mdpl. "Karena berasal dari biji, biaya budi daya bawang merah sanrem F1 juga lebih rendah," lanjutnya.
Ia mencontohkan, jika menggunakan sistem konvensional setiap hektar lahan memerlukan sekitar 1,5 ton umbi dengan biaya sekitar Rp 45 juta. Sedangkan jika menggunakan metode ‘pindah tanam’ ini hanya memerlukan 5 kg benih dengan biaya sekitar Rp 12,5 juta.
Cara baru budi daya bawang merah dengan menggunakan biji juga memiliki keunggulan dengan lebih sedikit terserang penyakit karena benih tidak membawa bulb borne disease seperti virus dan jamur. Untuk pemakaian pupuk juga tergolong lebih efisien yakni hanya dengan menggunakan dosis pupuk setengah dari kebutuhan pupuk dengan metode penanaman konvensional, produksi bawang merah tetap tinggi.
"Penemuan varietas baru ini merupakan sumbangsih kami dalam memacu pertumbuhan dan kemajuan bidang agro industri khususnya budidaya hortikultura di Indonesia. Kami berharap dengan pengenalan cara budidaya ini mampu mendorong peningkatan kesejahteraan petani bawang merah," katanya menambahkan.