EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Pertanian Dwi Andreas Santosa menegaskan ada yang salah dalam penetapan harga acuan yang digagas Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Kesalahan penetapan harga menurutnya tidak didasarkan pada keseimbangan harga saat ini.
"Penetapan nampaknya agak tergesa-gesa tanpa melibatkan banyak sisi," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/12).
Ia menjelaskan, penetapan harga acuan di level petani diberi angka lebih rendah dari biaya produksi petani. Contohnya beras, harga yang ditetapkan di level petani oleh pemerintah sebesar Rp 3.700 per kg. Padahal, biaya produksi sudah mencapai Rp 4.200 per kg. Harga yang ditetapkan di level konsumen yakni Rp 9.500 pun jauh lebih rendah dari harga yang telah mencapai di atas Rp 10.500 per kg.
Dari tujuh komoditas pertanian (beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai dan daging sapi) yang masuk ke dalam Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Konsumen, menurutnya hanya gula pasir dan bawang merah yang relatif baik. Sementara sisanya masih perlu banyak perbaikan penetapan harga acuan. "(Harga acuan) Nggak bisa diterapkan," ujarnya.
Adanya penetapan harga acuan tersebut merupakan tindak lanjut dari Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpangan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Kini, melihat buruknya penerapan harga acuan pada komoditas tersebut membuat pemerintah merevisi Permendag tersebut.
Pemerintah berencana mengeluarkan cabai dari komoditas yang mendapat harga acuan. Sebab, cabai yang dinilai sangat fluktuatif sulit untuk dikendalikan pemerintah. Dwi menjelaskan, harga tinggi yang kerap terjadi pada cabai dikarenakan jumlah produksi yang tidak mencukupi. Saat ini diakui Dwi berdasarkan kunjungannya ke petani cabai di Wonosobo 10 hari lalu, harga cabai di level petani mencapai Rp 50 ribu-55 ribu per kg.
"Harga tinggi itu karena langka, kalau langka berarti kurang kan?" ujar dia.
Menurutnya, pemerintah mengalami kondisi dilematis terkait cabai tersebut. Pemerintah baru memutuskan impor saat harga cabai sudah terlalu tinggi untuk menstabilkan harga, sementara cabai impor baru akan datang dua bulan kemudian. "Ketika impor masuk, petani kita panen. Kan itu lebih masalah," kata salah satu pengajar di Institut Pertanian Bogor tersebut.