EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menegaskan fundamental makro ekonomi Indonesia sangat baik saat ini. Kondisi tersebut menurut BI tidak akan menyebabkan capital outflow besar-besaran seperti yang terjadi pada tahun 2013.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung mengatakan, saat ini fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada tahun 2013. Pertama, dari sisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) saat ini sebesar 1,8 persen jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,2 persen.
"Sekarang hanya 1,8 persen. Untuk seluruh 2016 kami proyeksi di bawah 2 persen," ujar Juda Agung di Gedung Bank Indonesia, Kamis (14/12).
Kedua, inflasi yang pada tahun tersebut berada di atas 8,00 persen kini bisa ditahan cukup rendah di kisaran 3,00-3,20 persen. Ketiga, cadangan devisa lebih baik yang menurut Dana Moneter Internasional (IMF) berada di posisi 122 persen tingkat kecukupan cadangan devisa.
Keempat, portofolio investasi Indonesia yang didominasi oleh investor jangka panjang, sedangkan pada 2013 didominasi oleh trader.
Bank sentral juga menilai bahwa aliran modal keluar (capital outflow) yang terjadi pada Oktober 2016 lalu tidak sebesar yang terjadi pada 2013. Karena pada tahun tersebut aliran modal keluar secara besar terjadi pada bulan April dan baru pulih dengan kembali masuk pada bulan Agustus atau empat bulan kemudian. Sedangkan yang terjadi pada Oktober lalu sudah pulih kembali pada awal Desember ini, sehingga rupiah pun menguat.
Rupiah sempat menyentuh Rp 13.800 per dolar AS saat Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS. Namun kemudian pada awal Desember ini rupiah mengalami penguatan hingga di kisaran Rp 13.200 per dolar AS.
Sementara itu pada perdagangan pagi ini rupiah melemah tipis di Rp 13.420 per dolar AS dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya di Rp 13.384 per dolar AS. Adapun selanjutnya rupiah terus melaju dalam tren penguatan.
Untuk tahun depan, Juda menilai masih ada ketidakpastian dari bank sentral AS The Fed yang telah memberi sinyal kenaikan suku bunga hingga tiga kali.
Kenaikan suku bunga AS yang lebih ekspansif ini memang akan berdampak pada penguatan mata uang dolar AS. Kendati begitu, fundamental ekonomi Indonesia yang kuat akan menahan risiko terjadinya pelemahan rupiah.
"Memang risiko masih ada. Kita lihat arah kebijakan ke depan. Tapi kami perkirakan tidak sampai Rp 14 ribu," kata Juda.