Jumat 06 Jan 2017 12:29 WIB

Mendulang Rupiah dari Kopi Merapi

Rep: Rizma Riyandi / Red: Nidia Zuraya
Usaha pengolahan kopi tradisional dari lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.
Foto:

Perjalanan kesuksesan Sumijo tidak dilalui dengan mudah. Ia harus membuat keputusan besar saat memulai bisnisnya di bidang kopi. Tepatnya sebelum 2010, ia harus memutuskan untuk berhenti kerja sebagai pegawai Golf Merapi, karena ingin fokus membantu mengembangkan produktivitas para petani kopi. "Ya kalau terus jadi karyawan di sana yang akan senang hanya saya dan keluarga. Di sisi lain saya ingin meningkatkan taraf hidup para petani. Jadi akhirnya saya putuskan keluar saja, untuk fokus mengurus KUB," katanya.

Namun tanpa disangka, selang beberapa bulan setelah keluar dari pekerjaannya, Sumijo bersama masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi tertimpa musibah yang hingga saat ini sulit dilupakan, yaitu erupsi Merapi pada 2010. Kala itu, seluruh harta benda milik Sumijo ludes terkubur lumpur panas wedus gembel. Rumah, hewan peliharaan, kendaraan, warung, hingga kebun kopinya ikut sirna tak bersisa. "Untung waktu itu kita punya persediaan kopi sebanyak tiga ton," kata Sumijo. 

Akibat fenomena alam tersebut, luas kebun kopi di lereng Merapi ikut menyusut. Dari awalnya mencapai 850 hektare, sekarang tinggal 250 hektare. Karena hal tersebut, jumlah petani pun berkurang drastis. Setelah erupsi, lebih dari 50 persen petani kopi beralih profesi menjadi penambang pasir.

Selain itu, di awal-awal pembentukan KUB, Sumijo pun menghadapi kesulitan. Misalnya pesimisme dari para petani. Karena kebanyakan dari mereka merupakan masyarakat berusia lanjut dan tradisional. Sehingga terkadang sulit diberi motivasi. "Ada yang awalnya tidak peduli. Tapi lambat laun juga bisa diajak kerja sama," ujar Sumijo, mengingat-ingat awal perjuangannya mengembangkan Kopi Merapi.

Kini dengan modal awal Rp 5 juta, warung Sumijo memperoleh omzet Rp 6 juta sampai Rp 10 juta per bulan. Jika sedang ramai pengunjung di warungnya mencapai 50 orang sehari. Menurutnya modal awal tersebut ia gunakan untuk membangun warung seadanya. Sebab saat ini pun sebagian besar bangunan warung berasal dari sisa-sisa kayu bekas erupsi 2010 lalu.

Sementara omzet penjualan kopi serbuk di KUB, mencapai Rp 25 juta per bulan, dari awalnya hanya Rp 5 juta per bulan. Namun keuntunggan dari produk KUB lebih banyak digunakan untuk membiayai keperluan operasional pembuatan Kopi Merapi, serta perbaikan kantor Kebun Dinas dan mesin-mesin pembuat kopi. Seperti menggaji dua orang pegawai.

Sumijo mengakui, pada awal pengembangan Kopi Merapi, KUB bentukannya banyak menerima bantuan dari DPPK setempat. Namun ia bertekad untuk menciptakan kemandirian bagi petani kopi. Maka itu sekarang, ia terus berusaha sendiri untuk memperbaiki beberapa kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki kelompoknya. "Ya harapannya bisa mandiri," ujarnya.

Pada bagian lain, ia menjelaskan, tahapan pengolahan kopi dimulai dari memetik buah kopi yang sudah matang. Menurut Sumijo, buah kopi yang matang memiliki kulit berwarna merah. Lalu disortasi untuk memisahkan kopi kualitas bagus dan jelek. Kemudian dikeringkan dengan cara dijemur kurang lebih satu bulan, sehingga kadar airnya berkurang.

Setelah kering, maka kulit kopi pun dikupas dan direndam dalam air selama 24 sampai 36 jam. Pada tahap ini biji kopi akan mengembang. Selanjutnya biji-biji kopi dijemur kembali sampai kadar air yang tersisa tinggal 11 atau 13 persen. Lalu kulit ari kopi dikupas, sampai menghasilkan black green coffe. Setelah itu dilakukan sortasi kembali untuk yang kedua kalinya guna memisahkan biji-biji kopi berkualitas tinggi.

Sampai di sini, kadar air dalam biji kopi dicek kembali. Jika kadar airnya belum mencapai 11 atau 13 persen, biji kopi dijemur kembali selama lima hari. Setelah itu barulah kopi-kopi pilihan dari Lereng Merapi disangrai. Kemudian digiling hingga menjadi serbuk kopi dengan karakter khas yang nikmat diminum.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement