EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Freeport Indonesia mengaku masih mengkaji Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 hasil revisi keempat PP 23/2010 tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Juru bicara Freeport Riza Pratama menerangkan pihaknya belum bisa memastikan bagaimana dampak aturan baru tersebut terhadap operasional perusahaan itu.
"Kita inginnya tidak menggangu operasi. Tapi itu ya tergantung pemerintah. Belum tahu apakah mengganggu atau tidak, kita akan mempelajari berdasarkan kontrak karya, jadi nanti kita lihat dampaknya, " tutur Riza saat ditemui wartawan di kantor Ditjen Minerba, Jakarta, Jumat (13/1).
Tim Freeport, kata Riza sedang mengkaji poin yang mengatakan setiap perusahaan pemegang kontrak karya wajib merubah status ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika ingin mengekspor konsentrat. Freport salah satu perusahaan tambang yang masih berstatus kontrak karya. "Bukan memberatkan sebenarnya, tapi kita mengkaji lebih dalam," ujarnya.
Poin berikutnya, pemerintah mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun pabrik pemurnian mineral (smelter) dalam lima tahun. Akan ada evaluasi setiap enam bulan. Riza menegaskan pihaknya berkomitmen memenuhi aturan itu. "Kalau komitmen kita sudah konfirm. Karena kita sudah melakukan beberapa engineering design, dan sebagainya," tutur sang jubir.
Mengenai divestasi saham sebesar 51 persen, kembali Riza mengatakan pihaknya masih mempelajari. Sebelumnya berada pada kisaran 30 persen. "Karena kita kan tambang bawah tanah, di peraturan sebelumnya hanya sampai 30 persen. Masih dikalkulasi ulang," ujarnya.