EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah berencana menerapkan skema tarif progresif untuk pembayaran bea keluar ekspor konsentrat mineral tambang. Nantinya, akan berlaku tiga lapis atau tiga pembagian progres pembangunan fasilitas pemurnian mineral atau smelter yang akan dijadikan acuan menetapkan tarif bea keluar. Namun sesuai dengan kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tarif bea keluar maksimum adalah 10 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan, semakin bagus progres pembangunan smelter maka bea keluar yang dibayarkan semakin kecil. Pembagian progres yang dimaksud yakni nol hingga 5 persen, 5 hingga 7,5 persen, dan di atas 7,5 persen. Suahasil mencontohkan bila progres pembangunan smelter berhasil berjalan dilakukan dalam rentang nol hingga 7,5 persen maka bisa dikenakan tarif bea keluar 7,5 persen.
"Maksimal 10 persen. Masih didiskusikan lagi layernya seperti apa. Udah mulai diskusi. Ada tiga layer (yakni) 7,5, 5, dan nol (persen)," ujar Suahasil.
Meski begitu, ketentuan berapa tarif bea keluar untuk setiap masing-masing layer masih didiskusikan dengan Kementerian ESDM. Ia menegaskan bahwa tarif bea keluar tertinggi yang bisa dikenakan kepada pemegang izin pertambangan adalah 10 persen, bila progres smelter buruk.
"Yang berlaku kemarin itu sesuai dengan progres smelter, antara 0 sampai 7,5 persen kemajuan itu dikenakan bea keluar 7,5 persen. Tapi tetep akan ada layering untuk memberi insentif kemajuan. Levelnya dibawah 10. Kita masih diskusikan layer apa yang paling efektif untuk mendorong," ujar Suahasil.
Pada prinsipnya, lanjut Suahasil, kebijakan bea keluar ini bukan semata untuk menaikkan penerimaan pemerintah namun juga diarahkan untuk memaksimalkan pengembangan smelter yang sampai sekarang masih seret. Selain itu ia juga menegaskan bahwa pemegang izin pertambangan baik IUP atau IUPK harus ikuti ketentuan penerimaan negara yang berlaku, baik perpajakan atau nonpajak seperti royalti.