Senin 06 Feb 2017 22:25 WIB

KLHK Berharap Sertifikasi SVLK-FSC Saling Melengkapi

Red: Fernan Rahadi
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putera Parthama.
Foto: dok. Humas Kemenhut
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putera Parthama.

EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berharap dua sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Forest Stewardship Council (FSC) saling melengkapi untuk menjaga kelestarian hutan dan mencegah penebangan kayu secara ilegal.

"Dua sertifikasi itu sama-sama bagus untuk menjaga hutan tetap lestari," kata Direktorat Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Pertama dalam "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" di Yogyakarta, Senin (2/6).

Meski memiliki tujuan yang sama, namun Ida bagus mengakui keduanya memiliki posisi yang berbeda. SVLK bersifat wajib bagi bagi unit manajemen hutan maupun unit industri berbahan dasar kayu, sedangkan sertifikat FSC bersifat sukarela tergantung dengan permintaan pasar. "Jadi misal sudah memiliki FSC tetap wajib memiliki SVLK," kata dia.

 Sebaliknya, lanjut Ida Bagus, bagi industri mebel atau kerajinan kayu yang telah memiliki sertifikat SVLK agar tidak dipersulit saat ingin mengurus sertifikat FSC. "Kami berharap terhadap yang akan mengurus FSC, kalau sudah memiliki SVLK jangan sampai dianggap 'nol' karena SVLK justru yang telah diakui oleh pemerintah Uni Eropa," kata dia.

Menurut dia, hingga saat ini yang telah mengurus SVLK mencapai 2.400 pelaku industri berbahan kayu, 168 perusahaan hutan alam, serta 172 perusahaan hutan tanaman. "SVLK ini sebetulnya tidak mahal, jika jauh sebelum mengurus SVLK berbagai perizinan sudah dimiliki oleh pelaku industri," kata dia.

Sementara itu, Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia Representative, Hartono Prabowo mengatakan sinkronisasi atau titik temu skema pengurusan SVLK dengan FSC memang menjadi bahasan tersendiri dalam "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" yang berlangsung di Yogyakarta hingga 10 Februari 2017 itu.

Hartono mengakui FSC memang menerapkan standar yang lebih ketat, dibanding SVLK. Menurut dia, FSC yang paling banyak diminati oleh buyer dari Eropa sebaiknya tidak dipandang semata-mata sebagai persyaratan untuk menembus pasar melainkan harus ditujukan untuk kelestarian alama dan keberlanjutan produksi kayu di masa mendatang.

"Sekarang skemanya masih akan kami bahas bersama agar dua sertifikat ini tidak dianggap memberatkan para pelaku industri kayu," kata dia.

Menurut dia, selain menyamakan skema pengurusan dua sertifikasi itu, penyelenggaraan "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" juga untuk membuka peluang memberikan sertifikasi bagi lebih banyak industri dengan produk berbasis hutan di Indonesia.

Perwakilan FSC Indonesia Business Development Indra Setia Dewi mengatakan acara itu ditujukan untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam menentukan skema sertifikasi hutan dan lacak balak (chain of custody) di Indonesia. "Kami mengundang berbagai unsur dari pemerintah diwakili Dirjen Pengelola Hutan Lestari. Dari perusahaan ada HPH, HTI. SPP, APRIL, pengelola hutan rakyat, TetraPark, serta Civil Society," kata dia.

Di Eropa, FSC berbasis di Bonn, Jerman. Lembaga itu dipimpin oleh Dewan Direksi Internasional beranggotakan 12 orang. Mereka mewakili bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi.

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement