EKBIS.CO, JAKARTA --- PT Freeport Indonesia akan berhenti beroperasi. Freeport yang tidak bisa mengekspor konsentrat membuat perusahaan tersebut berencana menerapkan kebijakan tersebut dalam beberapa hari ke depan.
Bersamaan dengan itu, pabrik pemurnian mineral atau smelter Freeport di Gresik yang bernama PT Smelting Gresik telah berhenti beroperasi sejak 19 Februari 2017. Hal ini dikarenakan adanya pemogokan karyawan di pabrik berkapasitas dua juta ton konsentrat itu.
"Jadi sekarang kita tidak bisa menghasilkan konsentrat untuk dipasarkan. Konsekuensinya, kita akan menutup operasi kita," kata Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc, Richard Adkerson, di Jakarta, Senin (20/2).
Ia menerangkan secara sederhana Freeport tidak bisa menghasilkan produk yang bisa dijual. Status Freeport yang masih berupa kontrak karya membuat proses ekspor perusahaan asal Amerika Serikat tersebut terkendala aturan.
"Kita harapkan segera mendapatkan jalan keluar. Tapi jika tidak ada jalan keluar, kita terpaksa mengurangi biaya-biaya kita, sesuai dengan apa yang bisa kita kirim ke Gresik. Di mana Gresik hanya bisa serap 40 persen dari konsentrat kita," kata Richard.
Ia mengatakan, selama lima tahun terakhir Freeport-McMoran, induk perusahaan Freeport tidak mendapatkan dividen sama sekali. Freeport Indonesia, kata Richard, tidak ingin mengurangi pengeluaran kapital sebesar 1,1 miliar dolar AS. "Harus mengurangi biaya operasi, dan kita normalnya menghabiskan 2 miliar dolar AS setiap tahun dengan entitas bisnis baik di Papua maupun di seluruh Indonesia," ujarnya.
Dengan terhambatnya bisnis Freepot, Richard mengatakan pihaknya akan merumahkan karyawan sebagai bagian dari rencana finansial perusahaan. Namun, Freeport masih terus berunding dengan pemerintah terhitung dalam 120 hari sejak 17 Januari 2017.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang mewajibkan semua perusahaan berstatus KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Freeport sebenarnya sudah diberi rekomendasi ekspor oleh pemerintah. Namun perusahaan itu enggan mengubah statusnya lantaran merasa tidak mendapat jaminan investasi dari aturan baru yang dikeluarkan.
Richard mengungkapkan, berdasarkan kontrak karya (KK) 1991, pihaknya telah berinvestasi sebesar 12 miliar dolar AS, dan sedang melakukan investasi dalam pengembangan cadangan bawah tanah. Berdasarkan KK, pemerintah telah menerima 60 persen manfaat finansial dari operasional Freeport Indonesia. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayar Freeport ke Tanah Air, telah melebihi 16,5 miliar dolar AS sejak 1991. Sedangkan Freeport-McMoran menerima 10,8 miliar dollar AS dalam bentuk dividen. "Di masa mendatang pajak, royalti, dan dividen yang akan dibayarkan ke pemerintah melebih 40 miliar dolar AS," ujar Richard.