EKBIS.CO, JAKARTA -- Komisi III DPR menilai, sengketa Freeport dengan pemerintah soal status kontrak dan larangan ekspor konsentrat merupakan hal sederhana. Di mana semua pihak harus memahami ketentuan yang bersifat peraturan perundang-undangan (regeling) berada diatas segala macam perjanjian dan keputusan pemerintah (beschikking).
Ketentuan larangan eksport konsentrat secara jelas diatur dalam pasal 170 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bahkan Freeport sudah lebih dua tahun mendapatkan dispensasi pemberlakuan pasal tersebut sejak tenggat waktu pelaksanaannya tahun 2014.
"Apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah tepat dan tidak perlu diubah lagi. Kami menyerukan pemerintah agar jangan kendor hadapi Freeport. Kita perlu tekankan bahwa undang-undang mengikat semua individu dan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia," ujar Anggota Komisi III DPR, Sufmi Dasco Ahmad di Jakarta, Kamis (23/2).
Menurut Sufmi, semestinya sebagai sebuah perusahaan berskala dunia Freeport bisa menunjukkan ketaatan pada hukum. "Jika kasus ini dibawa ke arbitrase asing sekalipun kami yakin kita dalam posisi yang kuat," tegas Sufmi.
Berdasarkan Konvensi New York 1958 dan pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan Arbitrase baru bisa dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau hukum di negara setempat.
"Kasus Freeport ini sudah merupakan soal kedaulatan. Tidak boleh ada pihak asing yang seenaknya mau mengatur penegakan hukum di negara kita. Bagaimana mungkin UU yang kita buat sendiri diminta untuk dilanggar. Mengikuti kemauan Freeport sama saja dengan melanggar undang-undang," kata Sufmi.