EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi pasar menilai masih tingginya harga pangan di beberapa daerah tidak hanya dipengaruhi oleh panjangnya rantai distribusi pasokan, namun juga karena beberapa persoalan lain.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia Joko Setiyanto, menyebutkan salah satu persoalan itu adalah ulah tengkulak yang membuat pedagang tidak bisa menikmati keuntungan. "Semestinya Bulog cepat turun tangan dengan cara mengintervensi pasar sehingga harga bisa stabil," katanya di Jakarta, Sabtu (25/2).
Joko memastikan pedagang di tingkat eceran hanya bisa mengambil untung 15 persen dari kenaikan harga tersebut, sehingga apabila pedagang tidak jeli dalam mengikuti pergerakan harga, justru bisa merugi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikoen melihat adanya persoalan pola tanam yang menjadi penyebab tingginya harga pangan. "Beberapa daerah surplus, daerah lain kekurangan. Langkah Kemendag mendatangkan barang kebutuhan pokok dari sejumlah daerah surplus sudah tepat," katanya.
Menurut dia, persoalan tingginya disparitas harga dari petani ke konsumen juga bukan semata karena panjangnya rantai distribusi. Tingginya harga juga terjadi karena maraknya praktik pungutan liar (pungli), faktor cuaca, transportasi, dan tata kelola pertanian nasional yang memaksa petani menyesuaikan harga jual.
"Jika Bulog cepat tanggap, kisruh pasokan dan harga pangan bisa diredam," ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Mekar Bakti Cilamaya Girang, Subang Wasim Sabarudin menilai tingginya harga pangan terjadi karena adanya pungutan liar kepada petani setiap musim panen. "Petani itu banyak diserang dari darat, air dan udara. Kalau dari darat misalnya keong, kalau udara bisa dari burung belum lagi tambah tikus. Kalau di Jakarta mahal karena kami juga banyak anggaran tambahan," katanya.
Wasim mengatakan situasi bertambah rumit karena kebanyakan anak muda memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan penghasilan lebih menggiurkan. "Tenaga kerja sudah sulit, artinya banyak yang keluar negeri karena sekarang uang asing udah bisa buat belanja. Jadi ini mengurangi tenaga kerja," katanya.
Menurut Wasim, masalah minimnya sumber daya manusia ini, selain menyebabkan produktivitas pertanian menurun, juga menyumbangkan kenaikan biaya produksi secara signifikan.