EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha menilai PT Freeport Indonesia tentu tidak semudah itu mengajukan gugatan kepada Mahkamah Arbitrase Internasional atas masalah yang dialaminya di Indonesia beberapa waktu terakhir.
Risiko pemerintah jika masalah ini dibawa ke Arbitrase, menurut Satya, paling tidak yaitu membayar ganti rugi kepada perusahaan. Namun, di sisi lain, pemerintah saat ini memiliki posisi tawar yang kuat kalau Freeport membawa masalah ini ke Arbitrase. Sehingga, kemungkinan pemerintah menang di Arbitrase pun tinggi.
"Saya melihat jarang sekali negara kalah. Tinggal kompensasi itu bagaimana, karena pemerintah perlu memberikan kompensasi untuk membayar ganti rugi itu," ujar dia di acara diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (25/2).
Lagi pula, pemberian divestasi sebesar 51 persen kepada pemerintah sejak 2011 itu tak kunjung diberikan oleh Freeport. Padahal, pengaturan pemberian divestasi ini sudah termuat dalam Kontrak Karya (KK) Freeport pada 1991.
Disebutkan dalam KK tersebut, pelepasan saham 51 persen itu mesti dilakukan dalam jangka waktu 20 tahun sejak 1991, tepatnya 30 Desember 2011. "Divestasi 51 persen sejak 2011 itu juga tidak ada. Artinya, sebetulnya banyak juga dosa yang dilakukan Freeport kalau memang nanti diajukan ke Arbitrase," ujar dia.
Satya juga menjelaskan, Freeport belum melakukan pemurnian konsentrat di dalam negeri sebagaimana termaktub pada UU 4/2009 tentang minerba, yakni pasal 170. Bahwa pemegang KK harus melakukan pemurnian sebelum mengekspor dan itu harus dilakukan paling lambat 5 tahun setelah UU tersebut ini diundangkan.
"Ketentuan pasal di KK ini juga jelas menghormati UU yang ada. Jadi hukum kontrak itu jelas tidak tidak bisa melebihi kedaulatan negara," tutur dia.