EKBIS.CO, JAKARTA -- Penambahan impor daging yang seharusnya berlaku linier dengan penghasilan importir ternyata tidak sejalan dengan kenaikan penerimaan perpajakan dari impor. Lantaran hal itu, pemerintah akan memburu importir daging yang menghindari pajak.
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak dari importir daging sempat anjlok dari 2014 ke 2015, lalu sempat naik ke 2016. Rinciannya, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dari importir daging sapi 2014 sebesar Rp 315,4 miliar. Angkanya turun ke 2015 sebesar Rp 255,1 miliar dan kembali naik pada 2016 sebesar Rp 285,2 miliar. Artinya, tren menunjukkan tidak ada peningkatan penerimaan pajak dari impor daging sapi selama lima tahun belakangan.
Sementara itu, di sisi volume impor daging sapi terjadi kenaikan signifikan dari 2015 ke 2016. Pada 2015, impor daging sapi beku dilakukan oleh 56 importir dengan kapasitas 44.673 ton. Sedangkan impor daging sapi segar dilakukan oleh 16 importir dengan 954,69 ton. Sisanya, impor jeroan beku dilakukan oleh 23 importir dengan jumlah 4.035 ton.
Angka impor kemudian tercatat mengalami lonjakan signifikan pada 2016. Rinciannya, impor daging sapi beku dilakukan oleh 60 importir dengan jumlah 155.070,24 ton. Sedangkan impor daging sapi segar dilakukan oleh 27 importir dengan kapasitas 10.340,16 ton. Terakhir, impor jeroan beku dilakukan oleh 34 importir dengan jumlah 55.839,08 ton.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, data-data tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara lonjakan angka impor dengan penerimaan pajak. Seharusnya, menurut Sri, kenaikan kapasitas impor akan menambah penerimaan pajak negara. Namun yang terjadi adalah kenaikan angka impor tidak sejalan dengan penerimaan pajak.
Bila dirinci, kenaikan realisasi impor daging beku dari 2015 ke 2016 mencapai 247 persen. Sementara kenaikan impor daging sapi segar menyentuh 983 persen dan lonjakan impor jeroan beku bahkan mencapai 1.284 persen. Namun, kenaikan penerimaan dari PPh importir daging sapi hanya 11,8 persen, bahkan untuk PPN-nya anjlok 26 persen.
"Jumlah penduduk Indonesia nggak naik. Jadi kalau suplai naik sampai tiga kali lipat, mestinya harga turun. Iya kan?" ujar Sri di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/3).
Sri bahkan meminta jajaran Bea dan Cukai melakukan pengecekan terhadap harga daging rata-rata di Malaysia dan Singapura. Sebagai negara yang sama-sama melakukan impor daging sapi, bahkan harga daging di Indonesia masih 30-40 persen lebih tinggi dibanding di Malaysia dan Singapura. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga melaporkan adanya 12 pengusaha daging ayam dan 32 pengusaha daging sapi yang melakukan praktik kartel.
"Sehingga sebetulnya kalau KPPU bisa menemukan adanya kartel 32 perusahaan itu sesuatu yang sangat wajar," ujarnya.
Kondisi di lapangan yang membuat harga daging sapi terus melambung ini memaksa Sri memerintahkan Ditjen Bea dan Cukai untuk melakukan berbagai upaya demi melacak kepatuhan bea impor oleh pengusaha. Nantinya, seluruh aktivitas impor akan dicek kembali riwayatnya mengangkut pembayaran bea impor dan dicocokkan dengan dokumen perpajakan badan usaha.
Selain itu, Sri secara tegas menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan kartel terindikasi melakukan penghindaran pajak. "Kenapa? Karena setoran pajaknya tidak banyak. Makanya saya kesal," ujar Sri.
Sementara itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf menyampaikan bahwa upaya pemerintah untuk mengendalikan penghindaran pajak yang dilakukan oleh pengusaha daging memang mau tak mau harus dilakukan. Apalagi, kata dia, separuh dari APBN digunakan untuk konsumsi barang dan jasa baik oleh pemerintah pusat dan daerah.
"Karena lebih dari 80 persen laporan yang masuk di KPPU terkait dengan kartel atau persengkokolan dalam hal belanja barang dan jasa. Kami juga di KPPU kemarin kerja sama dengan KPK dan lebih dari 70 persen korupsi di Indonesia masih bersumber dari pengadaan barang dan jasa," ujar dia.