EKBIS.CO, JAKARTA - Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan menurunnya daya beli masyarakat Jepang membuat Indonesia harus mencari pasar alternatif sebagai tujuan ekspor. Ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, negara-negara di Afrika bagian tengah dan selatan serta Asia bagian tengah dan barat merupakan pasar yang potensial bagi Indonesia. Misalnya saja, produk kopi asal Indonesia yang mulai menyasar pasar Afrika.
"Mencari alternatif pasar menjadi urgen. Produk manufaktur seperti tekstil juga prospektif. Nilai tambahnya juga tinggi. Sayangnya kita biasa lemah di brand atau merk," ujar Bhima, Kamis (9/3).
Ia menilai, kedatangan Raja Arab Saudi, keberadaan KTT IORA, dan kerja sama perdagangan dengan Sri Lanka serta Afrika Selatan menjadi momentum bagi Indonesia untuk memulihkan kinerja perdagangan yang sempat lesu dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi, lanjutnya, neraca perdagangan di awal tahun 2017 ini tercatat surplus 1,4 miliar dolar AS.
"Bisa surplus terus. Saya sih optimistis kinerja ekspor makin bagus karena pemerintah mulai buka pasar baru. Asalkan follow up nya juga serius," ujar dia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai bahwa pemerintah terus memfasilitasi agar pengusaha memiliki kemudahan dalam melakukan ekspor. Prinsipnya, lanjut Darmin, pemerintah memberikan fasillitas fiskal bagi para pelaku usaha termasuk keringanan bea masuk impor agar eksportir dalam negeri lebih terdorong untuk masuk ke pasar Sri Lanka.
"Membangun hubungan dagang bukan sesuatu yang sekejap bisa naik (neraca dagang). Yang berdagang kan sebetulnya swasta. Pemerintah berikan fasilitas," ujar Darmin di Kementerian Koordinator Perekonomian.
Ia menambahkan, pemerintah belum ada rincian negara-negara mana lagi yang akan diajak bekerja sama, terutama dalam hal perdagangan bebas. Hingga saat ini, menurutnya, baru dua negara tambahan yakni Afrika Selatan dan Sri Lanka yang melakukan dialog soal keringanan bea masuk impor.