Sabtu 25 Mar 2017 19:43 WIB

Tarif Taksi Daring tak Selamanya Murah

Red: Ani Nursalikah
 Sopir kendaraan sewa berbasis transportasi online menunggu saat uji KIR khusus di Silang Monas, Jakarta, Senin (15/8).  (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Sopir kendaraan sewa berbasis transportasi online menunggu saat uji KIR khusus di Silang Monas, Jakarta, Senin (15/8). (Republika/ Yasin Habibi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Harryadin Mahardika mengatakan subsidi tarif murah yang diberikan perusahaan taksi berbasis aplikasi (online) tidak akan selamanya bertahan murah karena perusahaan akan dituntut meningkatkan pendapatan pengemudi.

"Ada dua yang akan bergeser, pertama perusahaan akan keluar dari jalur rugi kemudian mencari keuntungan. Kedua, ada tekanan dari driver. Pengemudi melihat perlu ada pendapatan yang naik, jangan sampai pengemudi dieksploitasi," kata Harryadin dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (25/3).

Ia mencontohkan Amerika Serikat yang lebih dahulu menerapkan taksi dalam jaringan (daring) atau online tersebut sudah mulai diprotes dari pengemudi internal mereka agar pendapatan ditingkatkan. Namun, ia menilai Indonesia akan lebih lama terjadi penghentian subsidi tarif murah karena pasar yang sangat besar bagi perusahaan taksi daring untuk menyasar daerah perbatasan dan berpendapatan kecil-menengah.

"Dilihat dari penetrasi industri, perusahaan taksi online baru memulai market (pasar) di kota kecil dan sedang, namun ketika sampai pada titik di mana cakupannya memenuhi 30 persen pasar keseluruhan, barulah pemilik melihat jalurnya akan berubah," kata Harryadin.

Baca: Transportasi Daring, Pakar UI: Kalau Perlu Pemerintah Matikan Internet

Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP Organda Korwil 2 Untuk Wilayah DKI, Jabar dan Banten Safhruhan Sinungan mengkhawatirkan pemberian subsidi tarif oleh taksi online hingga perusahaan rela merugi. Ia menyebutkan salah satu perusahaan taksi online, Uber, memberikan subsidi tarif yang luar biasa hingga menggelontorkan dana Rp 1 triliun.

"Uber hampir menggelontorkan dana Rp 1 triliun hanya untuk rugi. Apa motivasinya memberikan subsidi, bahkan Go-jek juga rugi. Kalau masyarakat diuntungkan ya bagus, tetapi negara punya aturan dan aplikasi ini tidak bisa dicegah," kata Safhruhan.

Ia juga menyebutkan kendaraan perusahan taksi konvensional di Jabodetabek tinggal 30 persen karena tidak mampu bersaing dengan pengemudi taksi online yang tidak terlihat serta jumlahnya yang sangat masif. Kementerian Perhubungan tengah mengatur tarif taksi daring online dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Regulasi ini akan diberlakukan mulai 1 April mendatang. Dalam peraturan tersebut, ada 11 butir regulasi baru yang mengatur taksi online sebagai angkutan sewa khusus, namun tiga di antaranya masih menjadi keberatan dari perusahaan taksi aplikasi, yakni kuota dan batas tarif angkutan sewa khusus serta kewajiban STNK berbadan hukum.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement