Jumat 21 Apr 2017 06:10 WIB

Mewujudkan Keadilan Ekonomi Melalui Fintech

Red: Budi Raharjo
Amartha Fintek
Foto: ist
Amartha Fintek

EKBIS.CO,

Oleh Andi Taufan Garuda Putra CEO Amartha Fintek

Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat menjanjikan. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan dalam satu dekade terakhir kurang dibarengi dengan pemerataan. Kesenjangan masih terjadi di 17.000 kepulauan Nusantara, menghambat lebih dari setengah penduduk Indonesia untuk turut serta dalam pesta kesejahteraan, seiring meningkatnya perekonomian negara kita.

Di sisi lain, mendengar optimisme dari para pelaku ekonomi akar rumput, saya percaya bahwa kebangkitan sektor ekonomi informal dapat menjadi kunci pemerataan dan peranan financial technology (fintech) dengan jangkauan dan kemudahan yang dimilikinya akan mempercepat proses mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan. 

Professor Klaus Scwab, pendiri World Economic Forum, pernah menyampaikan bahwa dunia saat ini baru memulai Revolusi Industri keempat yaitu revolusi teknologi. Dalam fase ini, teknologi mentransformasi bagaimana cara kita menjalani keseharian, bekerja, serta berkomunikasi dengan sesama. Dalam konteks Indonesia, sayangnya hal ini belum secara langsung memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat yang berada di piramida terbawah.

Ibu Armiti (58 tahun) seorang pembuat bakul nasi dari rotan yang tinggal di Tenjo, adalah satu dari 20 ribu lebih keluarga di pelosok Kabupaten Bogor yang harus hidup tanpa layanan keuangan, bahkan dari bank sekelas BRI Unit. Dalam situasi seperti ini, saya percaya fintech mampu berperan strategis bagi pemberdayaan usaha mikro, pengentasan kemiskinan, dan inklusi keuangan, menjangkau pengusaha seperti Ibu Armiti yang berjumlah lebih dari 58 juta di seluruh pelosok Indonesia.

Bicara soal pengentasan kemiskinan, kita dihadapkan pada masyarakat di piramida bawah yang tinggal di daerah pegunungan dan pesisir dengan jaringan internet terbatas. Sebagian dari mereka sudah memiliki telepon genggam. Dengan tingkat pendidikan rata-rata sekolah dasar, mereka tidak dapat bekerja di sektor formal. Adapun aktivitas keseharian mereka terbatas pada kegiatan rumah tangga yang dilakukan di rumah dengan ukuran 3x3 meter persegi dengan penghuni sekitar lima orang atau lebih.

Segmen masyarakat ini hidup dalam kerentanan sosial, tetapi mereka akan mampu memperbaiki kualitas hidupnya serta generasi di bawahnya melaluipendekatan yang berkelanjutan: pendampingan dan akses ke modal usaha yang lebih terjangkau melalui skema peer-to-peer lending (P2P).

Melalui P2P, kebutuhan permodalan mikro yang tidak bisa dilayani oleh perbankan konvensional dapat dipenuhi. Marketplace P2P memberikan kesempatan kepada pemodal (investor) untuk memilih sendiri portofolio calon peminjam yang ingin didanai.

Dengan demikian, walaupun calon peminjam tidak memiliki agunan maupun dokumen-dokumen resmi atas usaha rumah tangga mereka -- yang pasti akan diminta jika mereka mengajukan pinjaman ke bank— investor tetap dapat menyalurkan pinjamannya kepada mereka. Hal tersebut menciptakan demokrasi ekonomi, memberikan kesempatan bagi mereka yang ditolak oleh sistem perbankan untuk tetap dapat berpartisipasi dalam perekonomian, inklusi keuangan yang sesungguhnya.

Selama ini, layanan permodalan mikro di luar sistem perbankan dilakukan secara tradisional. Sebagian besar kredit usaha mikro diberikan oleh orang perorang dengan bunga yang sangat tinggi (shark loan). Sebagian pelaku usaha mikro tetap berhubungan dengan shark loan atau rentenir karena mereka memberikan kemudahan akses terhadap pendanaan, dana siap cair setiap saat tanpa perlu dokumen macam-macam.

Bunga yang sangat tinggi tidaklah menjadi pertimbangan utama, melainkan kecepatan dan kemudahan mendapatkan modal tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa solusi instan tersebut tidak menciptakan keadilan serta keberlangsungan.

Keuntungan terbesar hanya dinikmati pemberi dana sementara peminjam harus setengah mati berusaha saatm engembalikan modalnya. Keadaan akan semakin buruk jika terjadi gagal bayar. Seluruh aset usaha bahkan aset pribadi peminjam bisa disita oleh rentenir tersebut.

Segmen usaha mikro inilah yang sebenarnya menjadi target utama P2P microlending, yaitu bagaimana memberikan akses dana yang terjangkau dengan dilengkapi edukasi pengelolaan keuangan yang tepat.

 

Perpaduan teknologi dan kearifan lokal

Karakter dan kekuatan masyarakat Indonesia ada pada ketekunan, kesantunan, etika, tata krama dan kesederhanaan.Adanya peran teknologi keuangan untuk menjembatani permodalan secara virtual kepada siapapun dimanapun secara efisien dengan bunga yang rendah dapat menguatkan karakter masyarakat tersebut menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang kuat dan berkeadilan.

Menjangkau masyarakat di pelosok Nusantara diperlukan lebih dari sekadar teknologi.Kita perlu menghidupkan kekuatan komunitas secara gotong royong dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Saat ini ada beberapa start up teknologi yang bergerak dengan memadukan teknologi dengan semangat gotong royong. Pionir fintech P2P untuk pembiayaan mikro di Indonesia adalah Amartha. Amartha membangun jaringan pendamping (field officer) di pelosok perdesaan untuk menjembatani pelaku usaha mikro agar bisa mendapatkan permodalan secara online.

Saat ini platform P2P Amartha telah mempertemukan ribuan calon peminjam dengan para investornya dan salah satu dari peminjam yang telah menerima manfaat dari kehadiran platform P2P Amartha adalah Ibu Armiti, seorang pembuat anyaman bakul nasi.

Sebelumnya, Ibu Armiti hanya membuat dan menjual anyaman rotan kepada tetangganya. Melalui Amartha, beliau mendapat pendanaan dari investor sebesar Rp 3 juta untuk meningkatkan jumlah produksi. Setelah satu tahun Ibu Armiti kembali mengajukan pembiayaan sebesar Rp 5 juta untuk merekrut tetangganya sebagai karyawan. Pembiayaan tersebut tidak hanya berhasil meningkatkan pendapatannya sendiri tetapi juga membantu menciptakan lapangan kerja di desanya.

Orang-orang seperti Ibu Armiti kemungkinan besar akan ditolak saat mereka mengajukan pinjaman komersial ke bank, karena mereka tidak memiliki jaminan, penghasilan tetap serta pembukuan keuangan dan riwayat kredit di bank. Sebagai fintech, Amartha membangun sistem credit scoring sendiri, sehingga Ibu Armiti akan memiliki skor serta riwayat kredit selama menjadi mitra Amartha. Dengan demikian, ke depannya, riwayat kredit ini dapat dipakai jika ia membutuhkan pendanaan lebih besar dari perbankan.

Startup teknologi lain yang juga mengedepankan gotong-royong adalah KitaBisa.com yang menjembatani masyarakat dalam menggalang donasi untuk menghubungkan kebaikan. Ada juga Ruma, yang merekrut para pemimpin komunitas kedalam sebuah jaringan agen yang terpercaya dan saling terkoneksi dengan teknologi serta Kudo yang memanfaatkan teknologi dengan agen untuk bisa melakukan pembelian secara daring. Dengan beragam teknologi yang dikembangkan ini, kami bisa memberikan berbagai layanan pembiayaan, pembayaran dan pembelian bagimasyarakat yang membutuhkan, secara lebih efisien.

Pada akhirnya, mewujudkan keadilan ekonomi merupakan perjalanan panjang dengan tantangan yang kompleks namun diiringi pula dengan peluang yang menjanjikan. Akses permodalan secara transparan dan efisien, seperti yang dilakukan oleh Amartha, adalah pintu awal untuk mendorong peningkatan kesejahteraan.

Tantangan terbesar bagi kita semua adalah bagaimana bisa berkolaborasi menyelesaikan permasalah tersebut secara bersama-sama. Ada jutaan Ibu Armiti lain di pelosok perdesaan di Indonesia. P2P Lending untuk usaha mikro diharapkan dapat membuktikan bahwa solusi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan sektor ekonomi informal, dan inklusi keuangan dapat dipercepat dengan kehadiran teknologi, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement