EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan larangan penggunaan cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dikritisi sejumlah pihak. Aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 2 Tahun 2015 tersebut dinilai merugikan para nelayan khususnya nelayan kecil.
Namun demikian, akademisi bidang perikanan dan kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyebut, di tengah penolakan tersebut Pemerintah saat ini tengah menyiapkan solusi yakni penggantian alat tangkap kepada nelayan dengan kapal-kapal kecil di bawah 10 GT. Jika tahun 2016 sekitar 1.500, untuk tahun 2017 ini direncanakan sekitar 15 ribu nelayan.
"Kami berharap penggantian alat tangkap ini bisa efektif untuk bisa membuat nelayan kembali melaut. Itu untuk nelayan kecil di bawah 10 GT," kata Arif dalam diskusi dalam diskusi Perspektif Indonesia dengan topik: "Kepastian Alat Tangkap Nelayan" di kawasan Menteng, Jakarta pada Sabtu (13/5).
Sementara untuk penggantian alat tangkap nelayan dengan kapal berukuran 10-30 GT rencananya akan difasilitasi Kementerian KP melalui pembiayaan perbankan. "Dan yang di atas 30 GT memang kami berharap dia bisa bermigrasi. Karena laut di Natuna banyak. Yang bekas dipakai oleh kapal-kapal asing. Nelayan di daerah timur juga banyak," kata Arif.
Meski demikian, ia mengakui nyatanya upaya tersebut tetap mendapat reaksi protes dari para nelayan. Imbasnya, Pemerintah memoratorium pemberlakuan Permen tersebut hingga akhir 2017. Padahal menurut Arif, gelombang protes tersebut muncul dari nelayan dengan kapal berukuran besar bukan dari nelayan-Nelayan kecil.
"Nelayan kecil dan non-cantrang dari hasil penelitian kami, mereka senang dengan kebijakan ini. Tepuk tangan, syukuran. Karena ini kan konflik besar kecil. Konflik nelayan di mana-mana itu bukan antar daerah, tapi konflik kelas cantrang dan non cantrang," katanya.
Bahkan demi menggunakan cantrang, sejumlah nelayan berkapal besar berupaya melakukan markdown atau mengecilkan ukuran kapal sebenarnya. Ini juga kata dia, yang membuat sejumlah nelayan ditindak secara hukum.
"Jadi sebenarnya gini, yang protes itu, enforcement di Jawa belum ada. Enforcement itu ada karena kapal-kapal cantrang itu markdown, kapalnya ukuran 60 GT, tapi daftarnya 29 GT supaya izin daerah. Berarti kan dia bohong. Kalau markdown harus berhenti, namanya bohong kan dia langgar undang-undang. Itu sanksinya bisa besar, tapi kan sanksinya nggak ada kan," kata Arif.
Menurutnya, sebetulnya aturan pelarangan cantrang juga telah ada sejak dulu berikut dengan sosialisasinya. Hal ini selain demi meredakan benturan antara nelayan, juga menyelamatkan ekosistem laut karena penggunaan cantrang. "Karena sumber daya laut semakin lama akan semakin drop kalau kita nggak kendalikan," katanya.