Rabu 17 May 2017 13:15 WIB

Pemerintah Kini Leluasa Intip Data Nasabah tanpa Persetujuan BI

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Sejumlah buku tabungan (ilustrasi).
Foto: Antara//M Risyal Hidayat
Sejumlah buku tabungan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Pemerintah kini memiliki kewenangan untuk mengakses informasi perbankan yang dimiliki nasabah, baik di dalam atau di luar negeri, demi kepentingan penyelidikan perpajakan. Kewenangan pemerintah untuk mengintip data perbankan nasabah ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Permintaan informasi keuangan oleh otoritas perpajakan kini bisa dilakukan tanpa persetujuan Bank Indonesia.

Aturan yang berlaku sejak 8 Mei 2017 ini sekaligus menjadi modal pemerintah untuk masuk dalam skema pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/ AEoI) yang akan berlaku per 2018 mendatang. Indonesia memang harus menyusun suatu aturan setingkat Undang-Undang tentang akase informasi keuangan sebelum 30 Juni 2017, bila mau bergabung dalam negara-negara pelaksana AEoI. Bila tidak, Indonesia harus siap dianggap gagal dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, Perppu tentang AEoI ini sekaligus menganulir seluruh pasal terkait kerahasiaan bank maupun data keuangan yang sebelumnya pernah tertuang dalam sejumlah beleid. "Perppu ini sudah menganulir pasal itu," ujar Darmin di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (17/5).

Dalam pasal 8 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan disebutkan, sejumlah ketentuan tentang kerahasiaan perbankan dan keuangan yang dianggap gugur di antaranya adalah Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP, Pasal 40 dan 41 UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 55 UU Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan Pasal 41 dan 42 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Darmin menambahkan, pelaksanaan Perppu ini menyasar baik nasabah lokal dan asing yang ada di Indonesia. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1 Perppu Nomor 1 Tahun 2017, yang menyebutkan bahwa akses informasi keuangan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

"(Ditujukan untuk) dua-duanya. Memang tidak perlu dimasukkan (dirinci). Justru tadinya pernah ada aturannya hanya asing. Kemudian dimasukkan semuanya. Berarti asing dan dalam negeri pajak," ujar Darmin.

Sementara itu, informasi keuangan yang bisa diakses oleh otoritas pajak termasuk identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. Bahkan, lembaga jasa keuangan juga tidak diperbolehkan membuka rekening keuangan baru dan melayani transaksi baru bagi nasabah yang menolak mematuhi ketentuan yang tertuang dalam Perppu tersebut.

Beleid tersebut juga menyebutkan, lembaga jasa keuangan dan entitas lain yang tidak menyampaikan laporan informasi keuangan, tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar, dan tidak memberikan informasi atau bukti keterangan akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Darmin mengatakan, Perppu tersebut berlaku umum untuk seluruh lembaga jasa keuangan. Namun, permintaan informasi keuangan atas nasabah Indonesia di luar negeri tetap mengikuti alur yang disepakati antara Indonesia dengan masing-masing negara.

"Itu sudah Perppunya yang atur semuanya bahwa sudah otomatis dapat info mengenai rekening di bank. Kalau dari luar tentu harus ada yang minta baru diproses," kata Darmin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement