EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menegaskan pihaknya tetap konsisten memprioritaskan keberadaan ternak lokal untuk pemenuhan daging sapi dalam negeri. Meski saat ini membuka keran impor daging kerbau.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita mengatakan ada kontroversi di masyarakat karenakan harga jual daging kerbau eks impor yang jauh lebih murah dibanding harga daging sapi lokal. Hal ini yang dikhawatirkan akan mengurangi permintaan daging sapi lokal. Tapi ia menegaskan kehadiran daging kerbau bukan untuk mengguncang harga daging sapi.
"Tetapi untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang belum bisa menjangkau harga daging sapi agar ada alternatif bagi mereka untuk menjangkaunya," kata dia, Selasa (23/5).
Ia menambahkan, saat ini pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya berupaya mencapai kedaulatan pangan sebagai bagian integral dari kedaulatan nasional. Faktanya, produk pangan asal ternak merupakan kebutuhan dasar warga negara yang harus dijamin ketersediaannya oleh pemerintah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Population Fund, penduduk Indonesia pada 2016 diperkirakan sebanyak 261,9 juta jiwa dan pada tahun 2035 diproyeksikan mengalami peningkatan menjadi 305,7 juta jiwa. Akibat meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat tentunya akan berdampak terhadap meningkatnya permintaan protein hewani, terutama daging sapi.
Sebagaimana diketahui bahwa ketersediaan produksi daging sapi lokal tahun ini belum mencukupi kebutuhan nasional. Berdasarkan prognosa produksi daging sapi di dalam negeri tahun 2017 sebesar 354.770 ton, sedangkan perkiraan kebutuhan daging sapi di dalam negeri tahun 2017 sebesar 604.968 ton. Sehingga untuk memenuhi kekurangannya dipenuhi dengan impor, baik dalam bentuk impor sapi bakalan maupun daging.
Diharapkan, adanya impor selain memenuhi kebutuhan konsumsi tapi juga mendorong sapi-sapi milik peternak berkembangbiak dengan baik. "Terutama untuk menghindari pengurasan sapi lokal karena meningkatnya permintaan, sehingga menyebabkan adanya pemotongan sapi betina produktif," ujar dia.
Distribusi daging kerbau eks impor diprioritaskan hanya untuk daerah-daerah sentra konsumen dan dapat diedarkan ke daerah lain sepanjang tidak ada penolakan dari Pemerintah Daerah setempat. Ini merupakan upaya lain agar tidak menganggu penjualan daging sapi lokal.
Sedangkan, ia melanjutkan, daging sapi lokal memiliki pangsa pasar tersendiri terkait dengan kebiasaan atau budaya masyarakat untuk mengkonsumsinya termasuk bagi konsumen yang terbiasa mengkonsumsi pangan organik. "Hal ini karena pola pemeliharaan dan pemberian pakan sapi lokal masih mengandalkan pakan hijauan," kata Ketut.
Berdasarkan informasi perkembangan harga yang dihimpun oleh Petugas Informasi Pasar (PIP) di daerah sentra produsen, yaitu sembilan Provinsi (Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan), pada Februari-Maret 2017, harga sapi per berat hidup di tingkat peternak terkoreksi rata-rata masih mengalami peningkatan 0,05 persen.
Selain itu, dengan digelontorkannya daging kerbau ex-impor, harga daging sapi segar tetap bertahan di angka Rp 110-120 ribu per kg. Harga tersebut dianggap masih wajar dan tetap memberikan keuntungan bagi para peternak sapi lokal.
Seperti diketahui, harga daging sapi lokal jauh lebih tinggi karena pola pemeliharaan yang belum optimal dan belum berorientasi bisnis. Hal ini membuat biaya produksi belum efisien.