EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengajukan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah terkait perbaikan pelaporan keuangan pemerintah pusat. Langkah ini menyusul pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada pemerintah pusat atas laporan keuangan untuk tahun anggaran 2016 lalu.
Salah satu rekomendasi yang diajukan BPK kepada pemerintah di antaranya adalah perubahan sistem pelaporan keuangan dari pelaporan berbasis kas menjadi pelaporan berbasis akrual. Dalam pelaporan berbasis kas yang selama ini dijalankan pemerintah, pencatatan hanya dilakukan untuk pengeluaran yang sudah terealisasi saja.
BPK memandang cara ini tidak memberikan gambaran nyata terhadap pengeluaran pemerintah, termasuk untuk belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam rekomendasinya, BPK ingin pemerintah mulai melakukan pelaporan keuangan berbasis akrual atau akumulasi atas seluruh tagihan yang masuk, meski pengerjaannya belum terealisasi.
Meski diyakini lebih ketat dan akurat, namun cara ini disebut bakal mengetatkan risiko defisit fiskal Indonesia yang dipatok di angka 3 persen. Bahkan, pemerintah memperkirakan angka toleransi defisit fiskal harus dipangkas di bawah 2,7 persen bila perubahan skema pelaporan keuangan dilakukan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pelaporan keuangan yang dijalankan pemerintah selama ini menganut skema cash basis atau berdasarkan pengeluaran yang tercatat. Ia memberikan contoh, pelaporan realisasi subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa saja berbeda dengan yang dianggarkan sebelumnya.
Alasannya, meski subsidi solar misalnya ditetapkan Rp 500 per liter, namun karena harga minyak dunia yang fluktuatif maka subsidinya bisa melebar. Ketika harga minyak dunia lebih mahal, maka subsidi yang digelontorkan pemerintah juga harus lebih besar demi menahan laju kenaikan harga BBM.
"Nah selama ini treatment Kemenkeu di dalam mengelola APBN adalah kita membayar apa yang ada di dalam UU APBN, atau APBNP. Padahal kenyataannya bisa saja tagihannya lebih besar dari itu, karena hal yang saya jelaskan tadi," jelas Sri di Kantor BPK, Jumat (26/5).
Sri melanjutkan, bila mengikuti rekomedasi BPK untuk melaporkan pencatatan keuangan berbasis akrual, maka perhitungan subsidi yang dilaporkan harus sesuai angka faktual yang ditagihkan kepada pemerintah. Akibatnya, pengeluaran berisiko membengkak dan berujung pada defisit fiskal yang mengetat.
Bila sebelumnya pemerintah mematok batas defisit fiskal di angka 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka dengan pelaporan keuangan berbasis akrual defisit harus dipasang di level yang lebih rendah lagi. Hal ini untuk memberi ruang terhadap defisit fiskal daerah yang juga berisiko ikut mengetat. Dalam UU APBN, defisit fiskal pemerintah pusat dan daerah tak boleh melebihi 3 persen dari PDB.