EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan akan menjalin kerja sama dengan pemerintah Swiss dan Singapura dalam pertukaran data keuangan. Kerja sama yang akan diteken setelah Lebaran ini, menyusul kerja sama pertukaran data yang sudah dijalin dengan Hongkong pekan lalu. Selain kedua negara tersebut, masih akan ada tujuh negara lain yang disasar Indonesia untuk bergabung dalam Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA).
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi mengungkapkan, ketujuh negara lain yang akan digandeng Indonesia dalam kerja sama pertukaran data keuangan adalah Panama, Uni Emirat Arab, Makau, Brunei Darussalam, Dominika, Vanuatu, Trinidad dan Tobago, serta Bahama. Ken menyebutkan, pemerintah akan memprioritaskan negara yang paling banyak menyimpan harta WNI.
Dengan ditandanganinya BCAA, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak memiliki akses untuk mendapatkan informasi keuangan Wajib Pajak Indonesia yang memiliki rekening keuangan di negara-negara yang diajak kerja sama. Informasi keuangan yang diperoleh dari kesepuluh negara tersebut akan digunakan untuk melengkapi basis data perpajakan yang dapat digunakan untuk menguji tingkat kepatuhan perpajakan sehingga diharapkan dapat mendorong kesadaran Wajib Pajak Indonesia untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela, terutama melaporkan penghasilan dan aset keuangannya di luar negeri.
"Nggak usah nego Singapura langsung saja, mau. Seluruh dunia. Kan ibu Menteri bilang ini bukan untuk kepentingan indonesia saja, tapi seluruh dunia. Pokoknya Singapur minta kalau Hong Kong sudah, kan Hong Kong sudah saya lakukan," ujar Ken di Gedung Mar'ie Muhammad Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (21/6).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Hongkong bukan menjadi satu-satunya negara yang digandeng Indonesia dalam kerja sama perpajakan. Ia mengatakan bahwa Singapura, Swiss, dan Makau akan menyusul perjanjian serupa dalam waktu dekat.
“Swiss sudah minta tanda tangan minggu depan, lalu Makau. Next ada perjanjian dengan Singapura,” ujar Sri.
Sri mengatakan, kerja sama tersebut ditujukan bagi negara-negara yang memiliki peluang untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Ia berharap, Singapura menjadi negara yang lebih kooperatif dalam pemberantasan praktik penghindaran pajak, terutama di era keterbukaan informasi saat ini. Ia sempat menyinggung bahwa nyaris 65 persen deklarasi luar negeri dalam program pengampunan pajak berasal dari Singapura. Data tersebut, ujarnya, diperkuat dengan data pendukung yang dimiliki Kementerian Keuangan.
Perjanjian pertukaran informasi keuangan secara bilateral antara Indonesia dan 10 negara lain ini dimungkinkan setelah pada tanggal 8 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Perppu Nomor 1/2017) yang mengatur mengenai wewenang Direktorat Jenderal Pajak untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dari Lembaga Keuangan di seluruh Indonesia dan wewenang Menteri Keuangan untuk melaksanakan pertukaran informasi keuangan dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.
Hong Kong telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan AEOI secara resiprokal dengan negara atau yurisdiksi mitranya dan akan bertukar informasi pertama kali pada tahun 2018. Hong Kong juga telah mengesahkan peraturan domestik (legal framework) untuk pelaksanaan AEOI yaitu Inland Revenue (Amendment) (No. 3) Ordinance 2016 yang berlaku efektif mulai tanggal 30 Juni 2016.
Penting bagi Indonesia untuk dapat melaksanakan AEOI dengan Hong Kong mengingat berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, Hong Kong menempati peringkat keempat sebagai negara asal investasi terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 2,2 miliar dolar AS dalam 1.137 proyek pada tahun 2016. Selain itu, berdasarkan data hasil program Amnesti Pajak, Hong Kong menempati urutan ketiga jumlah dana repatriasi sebesar Rp 16,31 triliun dan urutan ketiga deklarasi harta luar negeri sebesar Rp 58,15 triliun.