EKBIS.CO, Oleh Fuji Pratiwi
Indonesia bertekad keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah menuju negara maju. Di regional, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lima persen sudah terbilang bagus. Tapi, Indonesia butuh pertumbuhan lebih tinggi untuk mencapai mimpi berada di jajaran negara maju.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB), Prijono menjelaskan, saat ini produk domestik bruto (PDB) per kapita per tahun Indonesia mencapai 3.000-4.000 dolar AS. Bila ingin keluar dari kelompok negara berpenghasilan menengah, PDB per kapita per tahun Indonesia harus di atas 12 ribu dolar AS.
Dengan pertumbuhan ekonomi lima persen saja, Indonesia sudah dipandang bagus di regional. Tapi untuk masuk dalam negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidaknya harus 10 persen. Bila begitu, pada 2030 Indonesia sudah bisa jadi negara berpendapatan sekitar 14 ribu dolar AS pada 2030.
Bila pun tak setinggi itu, dengan pertumbuhan ekonomi enam persen, PDB per kapita per tahun Indonesia sudah bisa mencapai sekitar 8.000 dolar AS pada 2030. Bila pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil lima persen, PDB per kapita per tahun Indonesia bisa mencapai sekitar 7.000 dolar AS.
"Untuk mencapai itu, salah satu jalannya adalah mengurangi kesenjangan," kata Prijono dalam Rembuk Republik yang mengusung tema Daya Dukung Sektor Keuangan Syariah dalam Mengembangkan Ekonomi Regional di Ballroom Islamic Center NTB, Mataram, Kamis (15/6).
Diskusi panel yang diawali keynote speech Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi itu juga menampilkan nara sumber pengamat ekonomi syariah A Riawan Amin dan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) Prijono.
Prijono menyebutkan, PDRB NTB per kapita per tahun pada 2016 sebesar Rp 19,31 juta bila memperhitungkan subsektor tambang atau Rp 14,80 juta bila tanpa memasukkan subsektor tambang. Angka itu meningkat 5,26 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Angka PDRB NTB pada 2016 tersebut merupakan yang tertinggi ke dua di regional Bali Nusa Tenggara.
Dalam enam tahun terakhir, kontribusi sektor ekonomi berbasis sumber daya alam cenderung stagnan bahkan turun. Sementara tren sektor jasa cenderung meningkat. Pergeseran struktur ekonomi tersebut juga ditunjukkan NTB.
Secara nasional dan lokal daerah, sektor keuangan bisa membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional terlebih peran perbankan sebagi intermediasi. Pada skala nasional, total aset perbankan syariah mencapai Rp 358,742 triliun per Maret 2017 atau 5,25 persen dari total seluruh aset perbankan nasional. Dana pihak ke tiga (DPK) perbankan syariah nasional mencapai Rp 286,178 triliun yang 56 persennya bersumber dari deposito. Sebagian penyaluran pembiayaan untuk usaha produktif yakni modal kerja dengan porsi 39,71 persen dan investasi sebesar 17,59 persen di akhir kuartal pertama 2017.
Di NTB, aset perbankan syariah sebesar Rp 2,735 triliun per Maret 2017 atau 7,21 persen dari total seluruh aset perbankan di NTB. Untuk periode yang sama, DPK perbankan syariah di NTB mencapai Rp 1,469 triliun yang 68 persennya bersumber dari tabungan. Sementara pembiayaan mencapai Rp 2,355 triliun per Maret 2017 di mana 63 persen pembiayaan disalurkan untuk konsumsi.
Prijono melihat potensi ekonomi dan keuangan syariah di NTB terbilang besar. Apalagi NTB dikenal dengan sebutan Bumi Seribu Masjid dengan populasi Muslim yang juga besar. Di setiap sudut NTB, masjid mudah ditemui. "Bila bangun masjid juga jadi upaya meraih surga, perlu dipahamkan juga kalau pemberdayaan ekonomi umat juga bagian dari itu," ungkap Prijono.
Inklusif
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Prof Muhammad Firdaus menjelaskan pertumbuhan ekonomi dunia didorong untuk bersifat inklusif, termasuk sektor keuangan. Inklusi keuangan jadi fokus Indonesia bersama negara-negara anggota G20. Bahkan dalam pertemuan G20, Presiden Joko Widodo sempat berpidato tentang keuangan inklusif di Indonesia.
Pada zaman Presiden Soeharto, pembangunan ekonomi juga didorong pada pemerataan hasilnya. Sementara pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembangunan ekonomi didorong tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan tapi juga pengentasan kemiskinan.
Namun, Indonesia kemudian dikejutkan dengan angka Rasio Gini sebesar 0,4 persen pada 2014. Dari skala 0-1 persen, Rasio Gini Indonesia yang dirilis pada 2015 tersebut menunjukkan ketimpangan kronis. Sebab, Rasio Gini mayoritas negara lain berada di bawah 0,3 persen. Angka itu kemudian diakui oleh Indonesia.
Di luar, organisasi internasional juga memerhatikan hal ini. Mereka fokus pada ekonomi berkelanjutan yang inklusif. ''Ekonomi yang hanya ditopang sebagian orang pasti tidak akan berkelanjutan. Itu sudah dipikirkan sejak 2000,'' kata Firdaus.
Misalnya ADB pada 2014 mengukur seberapa inklusif ekonomi negara-negara di dunia. Dalam teori ekonomi iklusif, pertumbuhan ekonomi sengaja tak diukur. Hasilnya, Indonesia mendapat skor 4,4 dari skala skor 1-10. Sedikit saja lebih besar dari angka itu, Indonesia bisa masuk zona buruk.
Nilai Indonesia itu sangat dipengaruhi angka kemiskinan dan akses sanitasi serta air bersih. Jika fokus pada provinsi, NTB agak buruk di dua komponen tersebut terutama dengan kemiskinan 16-17 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang kabur dan keinginan agar ekonomi yang inklusif bisa dinikmati sebanyak mungkin rakyat, ekonomi syariah sering disodorkan sebagai alternatif bagi sistem ekonomi yang ada selama ini.
Dengan harapan bisa menyelesaikan berbagai persoalan, beberapa kaidah harus dipenuhi. Antara lain, ekonomi syariah tidak sebatas membangun ekonomi bebas riba, tapi harus bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan. Karena itu ekonomi syariah harus bisa menggerakkan ekonomi lokal dan regional.
"Sektor ini harus dibangun. Ini berkaitan dengan komiten pemerintah menempatkan dana di perbankan syariah. Kalau sudah begitu, bank syariah harus berperan dalam mengentaskan kemiskinan," kata Firdaus.
Pesatnya perkembangan ekonomi dan keuangan syariah Malaysia dan Brunei tak perlu lagi ditanya. Sebab, pemerintah ke dua negara punya komitmen dan memberi dukungan nyata terhadap ekonomi dan keuangan syariah.
Kredit perbankan komersial terlalu banyak untuk kredit konsumsi. Dengan karakter alami selalu berikatan dengan sektor riil, keuangan syariah diharapkan bisa banyak masuk pada sektor-sektor produktif.
Industri pengolahan
Untuk lebih produktif, Firdaus menyarankan agar keuangan syariah masuk ke sektor industri pengolahan, baik skala rumah tangga maupun skala komersial besar. Selain turut menjamin ketersediaan produk halal bermutu, nilai tambah dari skema bagi hasil membuat pemerataan hasil lebih terasa. Hal ini juga relevan dengan Indonesia yang ditopang industri olahan pangan yang banyak digerakkan pada skala usaha kecil dan menengah (UKM).
Firdaus melihat, penting bagi ekonomi syariah untuk mau menjangkau daerah yang skala pasarnya terbatas. Pemerintah sebenarnya sudah sempat mewacanakan kredit usaha rakyat (KUR) Syariah sebelumnya dan itu bisa mengingat ekonomi syariah punya skema variatif semisal skema salam untuk pertanian. Tapi, skema salam masih sangat sedikit dibanding skim lain seperti murabahah.
Kurang berkembangnya pertanian padi, jagung, dan kedelai (pajale) disebabkan penguasaan lahan yang sempit dan kurangnya modal petani untuk mengakses faktor produksi. Secanggih apapun teknologi pertanian jadi tidak berguna bila rekomendasi teknis tidak bisa diadopsi petani. Penguasaan lahan yang kecil membuat petani bergantung pada rentenir.
"Karena itu ada harapan saat BPD NTB dikonversi jadi bank syariah, bank ini lebih banyak memberi pembiayaan produktif. Bisa dibuat aturan daerah yang spesifik untuk itu," ungkap Firdaus.
Apalagi, NTB punya contoh perkebunan jagung yang bagus di Kabupaten Dompu. Firdaus bahkan menyebut perkebunan jagung Dompu sudah sama seperti di Texas, AS, saking bagusnya. Keberhasilan itu peran semua pihak, termasuk industri keuangan.
Tak hanya itu, Firdaus juga mengapresiasi NTB yang dalam lima tahun berturut selalu yang paling baik dalam pencapaian MDGs.