EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, tambahan utang sebesar Rp 5 triliun untuk membiayai defisit APBN selama 2017. Penambahan tersebut digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur.
"Penambahan utang sebesar Rp 5 triliun menunjukkan tambahan bersih atau netto dalam bulan Mei untuk membiayai defisit APBN selama 2017,'' kata Robert, saat dihubungi, Rabu (28/6).
Menurut dia, untuk mengukur sustainability atau nilai relatif dari utang tersebut, harus dibandingkan secara relatif terhadap produk domestik bruto. Dengan begitu, kata dia, maka akan didapat angka rasio sekitar 28 persen.
Sehingga, Robert menilai angka ini tergolong aman. Dia menjelaskan, tambahan utang Rp 5 triliun itu dalam struktur pengeluaran APBN 2017 ada untuk belanja infrastruktur. ''Ada untuk belanja infrastruktur dan lain -lain,'' ucap Robert.
Robert menuturkan, meski utang meningkat, dengan reformasi perpajakan, penerimaan negara akan meningkat. Sehingga, diharapkan akan mengurangi defisit anggaran.
Peneliti Indef Enny Sri Hartati menilai, persoalannya tidak semua pembangunan infrastruktur pasti akan produktif dalam jangka pendek. Sementara, utang harus ada dua hal, yaitu solvabilitas maupun likuiditas.
''Artinya, selain rasio utang, itu berbicara solvabilitas, kemampuan dan risiko jangka menengah panjang. Tetapi harus dilihat likuiditas perekonomian,'' tutur Enny.
Menurutnya, untuk ukuran makro, APBN sudah defisit keseimbangan primer. Jika defisit keseimbangan primer semakin meningkat, utang tersebut tidak produktif.
Ia mengakui defisit keseimbangan primer bukan berarti tidak boleh utang sama sekali. Hanya saja, pemerintah dinilai harus hati-hati, supaya peruntukan utang produktif untuk meningkatkan kinerja perekonomian. ''Ini sudah 5 tahun mulai defisit keseimbangan primer. Memang tidak bisa langsung seimbang, tapi minimal tidak bertambah,'' ujar Enny.