EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa PT Freeport Indonesia harus mengikuti aturan yang berlaku saat ini, terkait dengan kewajiban perpajakan termasuk pembayaran bea keluar. Artinya, Freeport harus tunduk pada skema prevailing atau pembayarannya mengikuti peraturan yang berlaku secara dinamis.
Hal ini berbeda dengan keinginan Freeport untuk memberlakukan skema nail down, atau menganut angka-angka kewajiban perpajakan yang tertera dalam Kontrak Karya (KK) tahun 1991 lalu.
"Dalam Undang-Undang (Minerba) secara jelas bahwa perubahan menjadi IUPK berarti menghendaki adanya suatu preveiling law yang berarti kita akan hitung berarti kita hitung berdasarkan kewajiban perpajakan berbasis pada UU Perpajakan saat ini," jelas Sri di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Selasa (4/7).
Sri menambahkan, pemerintah saat ini memperketat koordinasi di level menteri untuk membahas negosiasi dengan Freeport. Paling tidak terdapat empat komponen yang menjadi fokus utama pemerintah dalam proses negosiasi yakni ada tidaknya perpanjangan kontrak, kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineran tambang atau smelter, divestasi saham, dan faktor fiskal rezim yang berhubungan dengan penerimaan negara.
"Tim melihat satu paket perundingan yang akan kita sampaikan ke Freeport sehingga bisa dapatkan manfaat paling maksimal dalam kontrak jangka ke depan," ujar Sri.
VP Corporate Communication Freeport Riza Pratama menyebutkan bahwa perusahaan menghendaki konversi dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan dibarengi adanya perjanjian stabilitas investasi, serta jaminan kepastian hukum dan fiskal. "Freeport juga menyampaikan komitmennya untuk membangun smelter segera setelah hak operasional diperpanjang," ujar Riza.
Sebelumnya, pemerintah membuka opsi bagi PT Freeport Indonesia untuk mendapat izin operasi hingga 2041. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan, meski kemungkinan perpanjangan hingga 2041 tetap terbuka bagi Freeport, namun pemerintah tetap mengacu pada pasal 83 Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang menyebutkan masa operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bisa diberikan hingga 20 tahun, dengan perpanjangan dua kali sepuluh tahun.
Jonan menyebutkan, izin yang akan diberikan maksimal 20 tahun hingga 2041 namun dengan syarat akan ada peninjauan kembali pada 2031. Hal ini mengacu pada habisnya izin operasi Freeport berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang diteken antara perusahaan dan pemerintah di tahun 1991. Namun belum jelas juga, apakah Freeport akan terus menganut kepada IUPK atau bakal kembali kepada rezim KK setelah masa IUPK Sementara habis pada Oktober tahun 2017 ini.
"Perpanjangan itu bisa 2 kali 10 (tahun). Ya memang tujuannya itu (dievaluasi kembali pada 2031)," jelas Jonan di Kementerian Keuangan, Selasa (4/7).