EKBIS.CO, JAKARTA— Sejumlah petani Jawa Timur meminta pemerintah mencabut pajak penambahan nilai (PPN) terhadap komoditas gula. Pajak sebesar 10 persen tersebut dinilai memberatkan petani.
Permintaan tersebut mencuat dalam pertemuan delegasi petani tebu Jawa Timur di bawah koordinasi Ketua Umum Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat, Jawa Timur (Jatim), Muhammad Hamim saat beraudensi kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), A Muhaimin Iskandar, di Jakarta, kemarin.
Hamim menjelaskan pedagang gula meminta kepada petani menyisihkan dananya untuk membayar pajak PPN tersebut sebesar 10 persen. Semestinya pajak itu dibebankan ke pedangang gula, bukan ke petani.
Artinya, petani tidak mendapat untung karena beban biaya produksi lebih besar dari pendapatan yang diperoleh.
“Padahal 10 persen itu merupakan keuntungan petani,” kata dia dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (7/5).
Menanggapi keluhan tersebut, Cak Imin, sapaan akrab A Muhaimin Iskandar, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melindungi petani tebu.
Dia berharap Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) ataupun Peraturan Pemerintah (PP) dalam melindungi petani tersebut. Kebijakan tersebut dibutuhkan petani tebu untuk memperkuat dihapusnya pajak petani sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Cak Imin mendesak Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan tidak langsung menerapkan penarikan pajak PPN kepada petani tebu sebelum ada koreksi yang jelas.
"Permintaan petani tebu akan disampaikan langsung ke Presiden Jokowi. Masa Gula Impor malah tidak kena pajak sedangkan gula lokal dipajak," katanya.
Cak Imin yakin persoalan tersebut bisa diselesaikan. Mengingat ada putusan MK yang membatalkan pasal tersebut. "Tinggal buat peraturan menindaklanjuti putusan MK," ujarnya.
Di tempat sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan meminta Menkeu Sri Mulyani menunda penarikan pajak PPN 10 persen kepada pedagang gula sesuai keputusan MK pada 29 Februari 2017 yang membatalkan Keputusan Mahkamah Agung (MA) pengenaan PPN terhadap 11 kebutuhan bahan pokok.
“Termasuk Permendag nomor 27 tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) yang jauh di bawah ongkos produksi petani,” kata dia.