EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mengatakan penambahan pembiayaan utang di tahun anggaran 2017 akan digunakan untuk mendorong postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih ekspansif. Hal ini juga sejalan dengan keputusan pemerintah untuk menahan kebijakan untuk kembali memangkas anggaran.
APBN yang ekspansif memiliki arti, pemerintah menaikkan belanja negara untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang tengah melesu. Meski pada akhirnya pembiayaan utang bertambah dari Rp 384,7 triliun dalam APBN 2017 menjadi Rp 461,3 triliun dalam rancangan APBN-Perubahan 2017, pemerintah menegaskan bahwa utang yang diambil akan digunakan untuk belanja-belanja yang produktif terutama infrastruktur.
Penambahan pembiayaan utang juga dimaksudkan untuk menahan pelebaran ruang defisit fiskal. Seperti diketahui, defisit fiskal dalam RAPBN-P 2017 tercatat bisa menyentuh 2,92 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski begitu, pemerintah mamasang angka proyeksi defisit fiskal bisa ditahan di level 2,67 persen dari PDB.
"Itu untuk menjaga agar defisit (fiskal) tidak melampaui yang diperkirakan. Tentu dalam bentuk penerbitan surat utang," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Jakarta, Jumat (7/7).
Darmin juga meyakini Indonesia mulai merasakan aliran dana masuk yang cukup deras. Pemerintah, ujarnya, juga sudah memperhitungkan kemampuan pasar untuk bisa menyerap seluruh aliran dana yang masuk. Meski pembiayaan utang tercatat mengalami kenaikan, Darmin meminta masyarakat tidak melihatnya hanya dari satu sisi saja.
Ia menilai, selama ini penarikan utang ditujukan untuk menaikkan belanja produktif, di samping menjadi pengaman defisit anggaran. Defisit anggaran tidak boleh melampaui 3 persen dari PDB, sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
"Kita nggak ingin memangkasnya (anggaran) supaya kita ingin menjaga supaya APBN itu tidak kontraktif, dia ekspansif," kata Darmin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan saat ini rasio utang pemerintah masih berada di bawah 30 persen terhadap PDB, dengan defisit fiskalnya yang dicoba untuk dijaga di kisaran 2,5 persen terhadap PDB. Menurutnya angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G-20 lainnya.
Sri menjelaskan, dengan defisit di kisaran 2,5 persen Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen. Artinya, stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif.
"Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati). Presiden Joko Widodo tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintahannya untuk mengejar ketinggalan pembangunan," ujar Sri.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai bahwa membesarnya defisit fiskal tahun ini memiliki konsekuensi beban utang yang semakin naik. Bahkan, Indef mencatat bahwa sebanyak Rp 221 triliun anggaran tahun ini dihabiskan untuk membayar bunga utang saja. Sepanjang 2018 hingga 2019, utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah Indonesia mencapai Rp 810 triliun. Membengkaknya utang pemerintah ini, ujarnya, bisa memperburuk pandangan investor atas pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
"Artinya makin agresif terbitkan utang. Bisa crowding out nanti. Rebutan dana dan yang kena perbankan," ujar Bhima.