EKBIS.CO, JAKARTA --Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai, terkait tata kelola anggaran dan utang pemerintah buruk. Menurut dia, pemerintah menyampaikan di depan DPR jika defisit anggaran hanya akan mencapai Rp 330,2 triliun, atau 2,42 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
''Anehnya, belum berselang dua bulan, pada naskah RAPBN-P 2017 pekan lalu proyeksi defisit itu berubah drastis menjadi Rp 397,2 triliun, atau mencapai 2,92 persen terhadap PDB,'' kata Fadli Zon, dalam siaran pers yang diterima, Rabu (12/7).
Fadli menilai, selisih proyeksi defisit Rp 67 triliun bukanlah angka yang kecil. Ia mempertanyakan mengapa hanya dalam tempo kurang dari dua bulan, perhitungan yang dibuat pemerintah cepat sekali berubah.
Lebih aneh lagi, lanjut Fadli, meskipun proyeksi defisit untuk tahun 2017 berubah drastis, namun proyeksi defisit 2018-2020 dalam nota APBN-P ternyata tetap dipertahankan. Padahal logisnya, proyeksi defisit harusnya ikut berubah.
''Kita jadi bertanya mengenai kredibilitas penyusunan anggaran ini,'' ujar Fadli.
Menurutnya, terus meningkatnya defisit anggaran, yang kini mencapai 2,92 persen, tentu tak bagus. Karena sudah pasti akan ditutup dengan utang. Tambahan utang baru pasti lebih besar dari defisit, karena selalu disertai tambahan rencana investasi yang dibiayai utang. Hal inilah yang telah membuat jumlah utang pemerintah terus membesar.
Dalam catatannya, selama 2,5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang Indonesia telah bertambah Rp 1.062 triliun. Pertambahan ini hampir sama dengan pertambahan jumlah utang periode kedua pemerintahan Presiden SBY, yang pada 2009-2014 mencapai Rp 1.019 triliun.
''Artinya, pertumbuhan utang pemerintah saat ini bisa dikatakan luar biasa. Sejak Indonesia merdeka, inilah rekor utang tertinggi,'' jelas Fadli.
Dia menjelaskan, pada akhir 2014, utang Indonesia tercatat masih Rp 2.604,93 triliun. Tapi pada akhir Mei 2017 lalu, jumlahnya telah menyentuh Rp 3.672,33 triliun. Di tengah defisit anggaran yang kian membesar, utang yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019 jumlahnya juga cukup besar, masing-masing mencapai Rp 390 triliun dan Rp 420 triliun.
Itu pun baru menghitung utang jatuh tempo, belum memperhitungkan pembayaran bunga utang tiap tahun. Bunga yang dibayar pada 2016 adalah sebesar Rp 182,8 triliun. Pada 2017 ini, pembayaran bunga dianggarkan sebesar Rp 221,2 triliun. ''Bisa dibayangkan tingginya beban utang,'' ucap dia.
Lebih lanjut, Fadli menuturkan, pemerintah selama ini selalu menutup-nutupi pertumbuhan luar biasa utang dengan dalih rasionya terhadap PDB masih kurang dari 30 persen. Selama ini rasio utang terhadap PDB memang masih bergerak pada level 27-28 persen. Namun, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena mestinya jumlah utang pemerintah dibandingkan dengan pendapatan pemerintah sendiri, bukan terhadap PDB.
Ia berpendapat, PDB menggambarkan pendapatan total seluruh pelaku ekonomi di suatu negara, mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta, hingga orang asing. Jadi, nilai PDB tak mencerminkan pendapatan asli pemerintah. Apalagi rasio pajak terhadap PDB juga tergolong kecil, hanya berada pada kisaran 11 persen.
Sehingga, membandingkan utang dengan PDB bisa manipulatif, karena tak menggambarkan kemampuan riil perekonomian negara. Harusnya utang dibandingkan terhadap pendapatan pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN.
Fadli menambahkan, jika dibandingkan, pada 2012 rasio pendapatan nasional terhadap total utang masih berada di angka 67,6 persen. Namun pada 2017, rasionya tinggal 43,6 persen. Rasio pendapatan terhadap utang terus-menerus turun.
''Ini mestinya dijadikan acuan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan pembangunan,'' katanya.
Sayangnya, menurut Fadli, meski situasi anggaran saat ini sebenarnya mencemaskan. Tapi pemerintah belum terlihat akan mengevaluasi secara serius proyek pembangunan infrastruktur yang saat ini telah terbukti banyak mangkrak karena ketiadaan anggaran.