EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Pakar ekonomi pertanian Universitas Gadjah Mada Masyhuri merekomendasikan penghapusan penerapan harga eceran tertinggi, khusus beras kualitas premium.
"Harusnya pemerintah tidak mengatur harga beras kualitas tinggi. Serahkan kepada mekanisme pasar," kata Masyhuri di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (27/7).
Menurut dia, Permendag Nomor 47 Tahun 2017 yang menentukan harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan sebesar Rp 9.000 per kg di tingkat konsumen kurang tepat karena tidak membedakan harga beras kualitas premium dan medium. "Kenapa dua jenis beras dengan kualitas berbeda disamakan?" katanya.
Seharusnya, menurut dia, bisa diberlakukan berbeda sebagai bentuk insentif terhadap industri beras agar bisa menghasilkan beras dengan kualitas bagus bagi masyarakat.
Dengan menyerahkan harga beras premium sesuai dengan mekanisme pasar, menurut Masyhuri, tidak akan merugikan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah. Pasalnya, khusus untuk mereka telah dilindungi dengan penyediaan program Beras untuk Masyarakat Prasejahtera (Rastra) disertai fasilitas e-voucher untuk keluarga sasaran.
"Kalau industri membuat kualitas tertentu dan konsumen mau bayar, ya, silakan, toh, konsumen miskin sudah dilindungi dengan beras rastra dan e-voucher," kata dia.
Terkait dengan harga jual yang melebihi HET, seperti pada kasus PT Indo Beras Unggul (IBU) beberapa waktu yang lalu, menurut dia, bukan hal baru karena penerapan harga melebihi HET juga jamak ditemukan di sejumlah pasar modern.
Menurut Masyhuri, penerapan harga beras di atas HET Rp 9.000 per kg cukup wajar jika dibandingkan dengan harga beli beras kualitas premium di tingkat petani yang sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 7.300 per kg.
"Hampir semua pasar modern menjual di atas HET, kenapa yang ditangkap hanya satu? Itu kan menunjukkan bahwa tidak fair. Kalau mau fair, ya, ditangkap semua," katanya.
Dekan Fakultas Pertanian UGM Jamhari juga berpendapat serupa. Ia berharap kebijakan penentuan HET itu bisa direvisi karena justru tidak mendorong swasta untuk menghasilkan beras-beras yang berkualitas bagus.
"Perlu diinvestigasi apakah HPP dan HET-nya terlalu rendah atau perilaku pedagangnya yang monopolistik," katanya.