EKBIS.CO, BOSTON -- Riset yang dilakukan oleh Boston Medical Center menemukan bahwa, dari 2013 sampai 2015 sebanyak 68.177 dokter menerima penghasilan sekitar 46 juta dolar AS dari perusahaan obat penghilang rasa sakit. Riset ini melihat ada praktik perusahaan farmasi yang memasarkan resep obat opioid lewat para dokter.
"Langkah selanjutnya adalah memahami kaitan pembayaran ini dengan memberikan resep tersebut dan penyebab kematian," ujar penulis riset sekaligus dokter spesialis anak dari Boston Medical Center Scott Hadland dilansir Washington Post, Kamis (10/8).
Diketahui lebih dari 52 ribu orang meninggal dunia karena overdosis obat pada 2015. Menurut data Centers for Disease Control and Prevention, overdosis obat meningkat tajam selama sembilan bulan pertama di 2016. National Centers for Health Statistics menyebutkan, overdosis obat tersebut didorong oleh peningkatan kasus kematian pasien akibat opioid, terutama dari heroin dan fantanyl. Keduanya merupakan narkotika sintetis yang sangat kuat.
"Sangat umum bahwa opioid pertama yang pernah mereka dapatkan berasal dari resep dokter," kata Hadland.
Dokter paling banyak mendapatkan penghasilan dari mempromosikan fentanyl, yang bisanya digunakan untuk mengobati nyeri pasca operasi, dan pasien kanker. Sebagian besar fentanyl yang menyebabkan kematian diproduksi secara ilegal di luar negeri dan dipotong menjadi heroin. Menurut penelitian, perusahaan tidak secara agresif memasarkan pil versi temper-proof, yang diciptakan sebagai respons terhadap krisis opioid.
"Ini adalah indikator bahwa opioid benar-benar dipasarkan untuk rasa sakit," kata Hadland.
Hadland merasa khawatir bahwa dokter keluarga menerima jumlah pembayaran terbesar dari pemasaran opioid. Di sisi lain, obat penghilang rasa sakit lainnya seperti aspirin dan ibuprofen justru tidak begitu banyak dipasarkan sebagai opioid.
Menurut peneltian Hadland yang diterbitkan di American Journal of Public Health menyebutkan, sekitar dua pertiga bayaran dokter didapatkan dari konsultasi. Sekitar 700 dokter meraup hampir 83 persen dari pemasaran obat.
Beberapa negara bagian terkena dampak akibat krisis opioid, termasuk Indiana, Ohio, dan New Jersey yang notabene mencatat pembayaran paling banyak kepada dokter. Penelitian yang dilakukab oleh Hadland menggunakan data dari Centers for Medicare and Medicaid Services. Para peneliti tidak memasukkan perusahaan obat atau nama-nama dokter yang terlibat dalam penelitian mereka.