EKBIS.CO, JAKARTA -- Mega proyek kota mandiri bertajuk Meikarta masih menuai kontroversial. Selain promosinya yang jor-joran, juga masalah perizinan yang belum terurus. Praktis Lippo Grup selaku pengembang Meikarta dianggap menjual produk ilegal karena belum tuntasnya aspek-aspek legalitasnya.
Menanggapi hal itu, Koordinator Bidang Publikasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Agus Sujatmo menyarankan kepada konsumen agar berhati-hati membeli properti di Meikarta. Kata Agus, jangan sampai konsumen dirugikan di kemudian hari.
"YLKI menyarankan kepada konsumen untuk berhati-hati, jangan tegesa-gesa karena harga murah atau apa. Karena model preprojek selling ini penuh resiko," tegas Agus, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (6/9).
Menurut, ketika konsumen sudah mengeluarkan biaya untuk memesan properti di Meikarta, dan legalitasnya tidak terpenuhi maka dapat dipastikan konsumen sangat dirugikan. Apalagi hingga saat ini pengembang belum mendapatkan izin analisis dampak lingkungan (Amdal).
Terakhir mereka baru mendapatkan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) untuk lahan seluas 84,6 hektare (ha). Oleh karena itu, Agus meminta kepada pihak pengembang agar transparan dalam beriklan dan memberikan hak-hak konsumen.
Memang, sambung Agus, auran main tentang iklan atau promosi produk properti masih sangat minim di Indonesia. Agus menegaskan informasi dasar tentang legalitas perizinan yang sudah dikuasai pengembang merupakan hal sangat penting bagi konsumen.
"Sesuatu yang belum dibangun itu yang perlu diinformasikan kepada konsumen. Aspek legalitasnya sangat perlu diinformasikan kepada konsumen," terang Agus.
Selain itu, YLKI juga menyoroti cara beriklan atau promosi Meikarta. Salah satunya kasus beredarnya Nota Dinas Nomor 1017/06/SDBUP/2017 dari Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) yang ditujukan ke para Direktur di lingkungan Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Isi surat tersebut adalah penawaran Apartemen Meikarta di Cikarang.
"Fungsi pemerintah itu bukan menjadi kaki tangan pelaku usaha, tapi menjadi "balance" antara masyarakat dengan pelaku usaha. Bagaimana membuat informasi kepada masyarakat, membuat jaminan berbisnis yang baik dari para pelaku usaha," tutur Agus.
Maka dengan demikian, menjadi hal yang wajar jika masyarakat mendug ada main mata di antara pemerintah dengan Meikarta. Agus menilai ada dua hal yang patut dipertanyakan. Pertama mengapa Kementrian tersebut hanya mempromosikan atau merekomendasikan produk dari satu pengembang, dalam hal ini Meikarta. Kedua, apakah hal tersebut juga diperkenankan di sebuah lembaga negara.
"Jelas ini membuat (kecemburuan) antar pengembang," tutup Agus.