EKBIS.CO, ]JAKARTA --Ketua Komite I DPD RI, Akhmad Muqowam meminta pemerintah untuk memberikan fleksibilitas kepada desa untuk mengambil kebijakan terkait implementasi dana desa. Karena desa merupakan objek dalam pembangunan yang paling paham kebutuhan daerahnya.
Muqowam menjelaskan, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki empat lingkup pembahasan yakni terkait pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan. Muqowam yang sebelumnya menjabat Ketua Pansus RUU Desa DPR RI ini menjelaskan, lahirnya UU Desa adalah karena desa tidak pernah dapat apresiasi pemerintah.
Sebelumnya, kebijakan yang dibuat bersifat top down dan cenderung satu arah. Maka, dengan adanya UU ini harusnya desa dan masyarakat desa bisa bersama-sama membangun desanya. "Intinya banyak daya tolak masyarakat di desa, sehingga berdasarkan data statistik itu 56 persen penduduk desa ada di perkotaan, karena tidak bisa hidup di desa," kata Muqowam, dalam siaran pers yang diterima, Ahad (10/9).
Menurut dia, Pemerintah Thailand tidak membolehkan lebih dari 30 persen warga negara hidup di perkotaan. arena pemerintah telah fokus ke desa untuk menyokong bidang pertanian. Ketua Umum Perkumpulan Jarkom Desa, Anom Surya Putra menilai kewenangan lokal masyarakat desa ini penting. Hubungan rakyat desa dan tanah dinilainya paling rumit, sehinga ia menyatakan PP dana desa harus dicabut, karena banyak beban administratif.
"Tiap Permen desa tiap tahun selalu ada perubahan kebijakan, harusnya permen itu 4 tahun sekali, sehingga memudahkan desa untuk mengelola dana desa," ujarnya.
Kades Plososari Kendal, Jawa Tengah, Suwardi mengatakan, sebelum lahirnya UU Desa, dirinya hanya menerima bantuan dari pemerintah sebesar Rp 90 juta pertahun. Namun, dengan adanya UU Desa jumlahnya naik menjadi 800 juta per tahun.
Pascalahirnya UU Desa, lanjut dia, sangat dirasakan bahwa masyarakat desa telah diakui negara. "Akar permasalahan adalah rakyat, desa dan tanahnya, baru kali ini kami rasakan adanya sentuhan pemerintah, karena dengan bayar pajak kami terima pembangunan yang baik," jelasnya.
Namun, Ia berharap pemerintah dapat memberikan kepercayaan kepada perangkat pemerintah daerah untuk mengelola dana desa sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, tanpa dibenani dengan aturan yang justru mempersulit terwujudnya kemandirian daerah.
Sementara itu, Dirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan (PKP) Kementerian Desa, Ahmad Erani Yustika mengatakan, setelah diberlakukannya UU Desa, pihaknya mencoba memotret keseluruhan kegiatan desa. Berdasarkan data BPS, Kemendes mengolah untuk mengetahui base line kondisi desa saat itu. "Kami membagi data yang ada dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Jadi ada semua datanya, kita bahkan kirimkan ke semua kabupaten, supaya setiap daerah tahu potensinya masing-masing," jelasnya.
Namun, Kemendes tidak dalam kapasitas mendikte daerah. Data yang disediakan tersebut sebatas masukan bagi daerah. Sementara, keputusan akhir ada di tangan pengambil kebijakan di daerah masing-masing.
Oleh karena itu, ia menegaskan keputusan tetap ada di musyawarah desa. "Bupati dan menteri tidak boleh campur tangan. Pilihan mutlak kewenangan desa. Permen yang kami buat merupakan daftar yang terbuka," tambahnya.
Meski demikian, Erani menilai koridor implementasi UU Desa harus ditegakkan, supaya mimpi kemandirian desa dapat diwujudkan. Caranya, semua lini mesti paham dan setia dengan UU ini. Kementerian juga telah menyurati bupati kalau kebijakan yang dilakukannya salah.
"Contohnya, ada surat edaran bupati bahwa semua desa harus memiliki laptop dengan spesifikasi tertentu dengan dana desa, atau semua rumah harus dipasang pagar pakai dana desa, itu salah. Apabila semua pengambil kebijakan paham dengan substansi UU desa, maka tidak akan terjadi pedebatan seperti saat ini," kata Erani.