EKBIS.CO, JAKARTA -- Keberadaan financial technology (fintech) dinilai sangat membantu inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya, kebanyakan pelaku fintech memang menyasar masyarakat perdesaan yang sebagian besar belum layak mendapat pembiayaan dari bank (unbankable).
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan ada 180 juta masyarakat Indonesia yang unbankable per 2016. "Lebih dari 80 persen yang unbankable itu berada di perdesaan," ujarnya kepada Republika, Jumat, (29/9) petang.
Maka, menurut dia, potensi pembiayaan melalui fintech cukup besar dan mendorong bergeraknya inklusi keuangan. "Tercatat cuma ada 11 juta UMKM yang bankable (layak mendapat pembiayaan bank). Mayoritas, yakni 49 juta UMKM, masih unbankable," tutur Bhima.
Total kebutuhan pembiayaan nasional sebesar Rp 1.649 triliun. sedangkan kapasitas perbankan hanya Rp 660 triliun. Dengan begitu, jelas Bhima, selisih Rp 989 triliun itu bisa diisi oleh fintech.
Di Indonesia, lebih dari 40 persen fintech masih berbisnis payment alias sistem pembayaran seperti e-money, wallet, dan sebagainya. Sementara jumlah fintech yang menyalurkan kredit porsinya masih di bawah pembayaran.
Untuk menyasar kelompok masyarakat miskin di perdesaan, kata Bhima, yang paling efektif adalah fintech berbasis telepon genggam. Kini, ada 326 juta pengguna telepon genggam di Indonesia atau lebih besar dari populasi penduduk yang 260 juta orang dan pengguna internet aktif 88,1 juta orang.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan potensi pembiayaan di desa cukup tinggi. Hal itu terkait dengan dana desa yang terus membesar tapi banyak pejabat desa belum berani memanfaatkan dana tersebut.
"Masuknya fintech ke desa dapat membantu peningkatan inklusi keuangan," ujar Paul. Beberapa fintech yang menyasar masyarakat perdesaan di antaranya Amartha, Modalku serta Investree.