EKBIS.CO, PADANG -- Sumatra Barat sedang gencar-gencarnya menarik wisatawan mancanegara (wisman) untuk mengunjungi destinasi menarik yang ada. Beberapa lokasi wisata yang sedang dikembangkan dan dipromosikan secara luas, seperti Kepulauan Mentawai, Kepulauan Mandeh, jajaran pantai di Padang, hingga destinasi lainnya seperti Bukittinggi.
Namun, kedatangan turis asing tentu akan membawa budaya barat ke Tanah Minang. Salah satunya adalah busana bikini yang dikenakan saat bermain di pantai. Belum lagi budaya minum minuman keras yang dilakukan oleh turis.
Padahal masyarakat Minang dikenal dengan adatnya yang lekat dengan ajaran Islam. Lantas bagaimana tanggapan Pemerintah Provinsi Sumbar terhadap hal ini? Apakah boleh berbusana bikini di pantai-pantai Sumatra Barat? Bagaimana dengan bir?
Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno mengungkapkan, pada prinsipnya sudah ada lokasi-lokasi tertentu di Sumatra Barat yang sangat terbuka dengan turis asing, termasuk pengenaan bikini di pantai. Irwan mengambil contoh, Kabupaten Kepulauan Mentawai yang namanya sudah mendunia di kalangan peselancar dunia. Menurutnya, selama ini turis asing sudah nyaman berkunjung ke Mentawai, termasuk bila mengenakan busana bikini di pantai-pantai yang ada di Mentawai.
Irwan mengingatkan bahwa hal tersebut sudah berjalan hingga saat ini. Contoh lainnya adalah destinasi wisata di Pulau Cubadak, Pesisir Selatan. Masyarakat di sana juga terbiasa dengan budaya yang dibawa oleh wisman. Yang terpenting bagi Irwan adalah adanya zonasi wisata, di mana turis asing tetap harus menghormati budaya, adat, dan tradisi masyarakat Minang.
"Saya pikir nggak masalah (berbikini di pantai). Karena jika kita ke Mentawai, seluruh wisatawan juga memakai bikini. Tapi di pulau ya. Jangan coba-coba (berbikini) di Pantai Padang," ujar Irwan saat mengisi diskusi dalam Regional Investment Forum di Padang, Senin (16/10).
Irwan menilai, pengembangan wisata memang harus terus dilakukan. Namun pihaknya tetap memperhatikan dan menghormati budaya lokal yang ada. Solusinya, lanjutnya, adalah melakukan pengembangan kawasan wisata khusus yang terkonsentrasi dalam satu destinasi unggulan.
Sumbar menjagokan Mandeh kepada investor asing. Selain Mandeh, Kepulauan Mentawai juga sebelumnya sudah go international dan dikenal wisman. Hal yang sama juga dengan konsumsi minuman keras. Irwan menyebutkan, sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus soal hal ini. "Ya di zona tadi kan dia mau pakai bikini (silakan). Jangan dipelintir. Kalau di Pantai Padang ya mana mungkin," katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menambahkan bahwa pengembangan pariwisata tetap menggunakan zonasi. Artinya, ada kawasan yang memang khusus dibangun infrastruktur pariwisata. Ia mengambil contoh Lombok, Nusa Tenggara Barat yang dikenal sebagai sentra wisata halal. Lombok dinilai berhasil menyandingkan budaya Islam dengan penyediaan jasa yang optimal untuk turis asing.
"Lombok juga Islam, namun di sana dibikin zonasi. Dan Lombok fokus ke kawasan turis internasional. Bikini dan bir adalah common sense tapi ditanggapi dengan akal sehat. Jadi tidak masalah selama ada zonasi," ujar Thomas.
Catatan Pemprov Sumbar, hingga tahun 2016, jumlah hotel berbintang di Sumatra Barat terdapat 58 hotel dan 316 nonbintang. Total terdapat 374 hotel yang ada di Sumatra Barat. Angka ini masih sepertiga dari jumlah hotel di Nusa Tenggara Barat yang mencapai 900-an atau Bali yang memiliki 2.000-an hotel.
Jumlah kunjungan wisata di Sumatra Barat juga masih rendah. Tahun lalu saja, Sumbar hanya mampu menggaet 46 ribu wisatawan, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 48 ribu wisatawan. Kondisi ini yang membuat Pemda mati-matian mencoba menarik investasi di sektor pariwisata.
Hingga tahun 2019, pemerintah menargetkan jumlah wisatawan mancanegara mencapai 20 juta orang pertahun, serta wisatawan nusantara berjumlah 275 juta orang. Dari sektor pariwisata tersebut pemerintah mengestimasi jumlah devisa yang dihasilkan mencapai Rp 260 triliun.