EKBIS.CO, JAKARTA -- Kelompok kerja (Pokja) Buruh Perempuan menolak keputusan kenaikan upah buruh yang berdasar pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. Peraturan tersebut dinilai telah menghilangkan unsur penting dari perumusan upah yaitu standar kebutuhan hidup layak.
Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menegaskan, jika berpatokan dengan PP 78/2015 tersebut maka kenaikan upah buruh tidak lebih dari 8,71 persen. Misalnya di Jakarta, kata Ika, Gubernur Anies Baswedan telah menetapkan upah minimum pemerintah (UMP) sebesar Rp 3.648.035 per bulan yang berdasarkan pada PP tersebut.
"Kita nggak perlu studi berkepanjangan, secara kasat mata saja upah sebesar itu tidak akan cukup untuk kebutuhan buruh lajang apalagi satu keluarga di Jakarta," ungkap Ika di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jalan Diponegoro, Menteng pada Kamis (9/11).
Menurut dia, hal itu diperparah dengan adanya desakan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk menetapkan standar khusus upah bagi sektor padat karya, seperti garmen, pengolahan kulit, tekstil, dan alas kaki. Pengaturan upah padat karya itu diklaim berpotensi menindas buruh perempuan yang mendominasi sektor tersebut.
"Buruh perempuan selalu dipandang sebagai buruh yang posisinya sebagai penambah ekonomi keluarga saja. Padahal, kebanyakan dari kami adalah tumpuan keluarga," kata Mutiara.
Kebijakan upah padat karya yang sekarang dikeluarkan untuk Jawa Barat, kata dia, ancaman bukan hanya buruh di Jawa Barat, tetapi di Jakarta dan seluruh Indonesia. Sebab, ada kemungkinan provinsi atau daerah lain pun akan menerapkan upah padat karya.
"Kan yang dikhawatirkan industri tutup kalau gaji kami cukup. Padahal, kenapa harus upah kami yang jadi korban, bukan hal lain, misal sewa alat atau tempat yang ditekan misal," kata dia.
Karena itu, pokja buruh perempuan mendesak pemerintah untuk mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015, cabut SK yang mendeskripsi upah padat karya, hapus mekanisme upah, dan setop kebijakan peraturan yang mengorbankan kepentingan buruh.