EKBIS.CO, "Buk..buk..buk." Seruas bambu ditabok Sri Riyanti Ningsih beberapa kali. Dengan sesekali mengguncang, ibu dua anak itu menarik keluar lembaran uang kertas dan koin dari dalam bambu. Bulan belum bisa dikatakan tua saat ia tak lagi punya dana. Kala itu 2005, bambu dengan panjang tak lebih dari semeter menjadi celengan harapan bagi sebagian perempuan yang tinggal di Cisalak, Sukmajaya Depok, Jawa Barat.
Menabung baginya bisa di mana saja. Tetapi, bank tidak menjadi pilihannya. Sepanjang 52 tahun hidupnya, bank tak pernah dikenal Bu Ning, sapa akrabnya dari tetangga. Celengan bambu menjadi satu-satunya wadah untuknya menabung hingga 12 tahun lalu saat ia kenal dengan tabungan warga.
Tabungan warga diperkenalkan pertama kali di Cisalak melalui arisan ibu-ibu rumah tangga satu rukun tetangga (RT). Arisan itu diikuti sekitar 70 orang yang berada di RT 3 RW 4, Gang Masjid Al Islah, Cisalak. Tabungan ditarik dari peserta arisan untuk memenuhi kebutuhan menjelang bulan Ramadhan.
Bu Ning ikut sejak awal tabungan warga dimulai. Perempuan yang memiliki toko kelontong di rumah itu rutin menyetor tabungan dengan nominal mulai dari Rp 10 ribu hingga paling banyak Rp 20 ribu. Tabungan dia setorkan kepada petugas yang ditunjuk pengurus RT untuk berkeliling dari rumah ke rumah dalam satu kompleks. Petugas menghampiri warga hampir setiap hari.
Selama tiga tahun berjalan, Bu Ning mendapatkan tabungannya kembali dalam bentuk barang pokok seperti minyak goreng, tepung terigu, dan daging sapi. Tabungan warga kemudian bisa ditarik tunai mulai 2009. Setelah bisa ditarik tunai, nenek empat cucu itu bisa memanfaatkan uang tabungannya dengan sistem pinjaman.
Saat warga mendesak butuh uang, mereka bisa menarik tabungannya sewaktu-waktu. “Kalau mau ambil malu, jadi paling pinjam,” kata Bu Ning. Sebenarnya pinjaman itu berasal dari tabungan. Tetapi, Bu Ning akan kembali melunasi agar tabungannya bisa besar saat ditarik nanti.
Pinjaman warga tidak memiliki bunga. Warga bisa mengembalikan pinjaman sewaktu-waktu. Tabungan akan dibagikan ke masing-masing penabung sepekan sebelum Ramadhan. Saat dibagikan, tabungan telah dipotong 5 persen. Dana dari potongan ini, setengahnya digunakan untuk membayar petugas keliling, sisanya masuk ke kas RT.
Potongan itu tak dipermasalahkan Bu Ning. Dia mengaku bisa lebih rutin menabung lewat tabungan warga. Jika butuh uang mendadak, dia juga bisa langsung mengambil bagian tabungannya dengan sistem pinjaman. Hal itulah yang membuat perempuan asal Jakarta itu merasa tidak perlu memanfaatkan produk bank. “Buat apa ke bank, di RT saja ada,” kata dia.
Padahal, perbankan saat ini sudah memudahkan perempuan untuk mengakses produknya termasuk pinjaman. Salah satunya, BTPN Syariah yang memiliki program kredit super mikro yang menyasar ibu rumah tangga produktif atau wanita bekerja dari rumah. Sebagian besar nasabah pembiayaan ini semula merupakan mereka yang dinyatakan tidak layak mendapatkan pinjaman bank (unbankable).
Menggarap segmen unbankable, BTPN Syariah menyusun model pembiayaan baru agar rasio pembiayaan bermasalah terjaga rendah. Lewat BTPN Syariah, nasabah super mikro mendapatkan edukasi pengelolaan keuangan terlebih dahulu sebelum mendapatkan pinjaman. "Semua dibangun dari nol," kata Direktur Kepatuhan BTPN, Anika Faisal. Setelah ibu rumah tangga produktif dinilai paham keuangan, BTPN Syariah akan menyalurkan pembiayaan awal maksimal Rp 2 juta per nasabah.
Pembiayaan super mikro dari BTPN Syariah tidak menyaratkan jaminan berupa sertifikat aset nasabah. Direktur Utama BTPN Syariah Ratih Rachmawaty mengungkap perseroan membangun model pendampingan untuk menjaga rasio pembiayaan bermasalah rendah. Pendampingan dilakukan dengan pemberdayaan melalui penyaluran modal usaha, pelatihan, sistem keanggotaan, dan pembinaan. Model itu membawa NPF BTPN Syariah berada di level 1,7 persen di kuartal II 2017, jauh dari batas maksimal aturan Bank Indonesia, 5 persen.
Model lain ditawarkan Bank Mandiri Syariah yang masuk ke segmen pasar ibu rumah tangga produktif lewat pembiayaan mikro. Manager Kantor Cabang Bank Mandiri Syariah Citereup, Bogor, Niken Larasati menyasar ibu rumah tangga produktif melalui pendekatan komunitas seperti kelompok pengajian dan arisan. "Rata-rata mereka belum kenal bank karena merasa tidak berani berinteraksi, dianggap sulit masuk ke perbankan, sehingga kami pendekatannya ke komunitas seperti pengajian," ujarnya.
Dalam komunitas itu, Mandiri Syariah memberikan pelatihan menyusun laporan keuangan sederhana. "Analis akan membantu, menuangkan ke software analisis keuangan sederhanan, itu yang akan membantu mereka bankable, terbaca oleh bank," kata Niken. Petugas bank membantu membuat laporan keuangan dari catatan bon pembelian dan pembayaran.
Segmen ibu rumah tangga produktif Mandiri Syariah KC Citereup mampu menjaga rasio pembiayaan bermasalah di level nol persen. “Ibu rumah tangga ini segmen yang menarik, karena biasanya keuangan keluarga dipegang ibu rumah tangga,” kata Niken. Jika angsuran pembiayaan ibu rumah tangga tersendat, ada pasangan yang akan menopang. "Itu yang membuat kami aman menyalurkan pembiayaan ke ibu rumah tangga produktif," ujarnya.
Salah satu ibu rumah tangga yang memanfaatkan pembiayaan Bank Mandiri Syariah adalah Sumairah, pemilik usaha konveksi di Sireumkilang RT 4 RW 8, Tarikolot, Citereup, Kabupaten Bogor. Dengan bekal pembiayaan Rp 100 juta dari Mandiri Syariah, ibu dua anak itu membuka konveksi HS Collection pada 2014. Sumairah merekrut enam tetangganya yang merupakan mantan buruh garmen. Lima karyawannya adalah ibu rumah tangga.
Usaha konveksi Sumairah memproduksi berbagai pakaian dengan mengolah limbah kain sisa pabrik garmen. Hasil produksinya dijual murah mulai Rp 5.000 untuk selembar pakaian dalam dan termahal hanya Rp 200 ribu untuk gamis panjang. Dari situ, Sumairah bisa menggaji karyawannya Rp 2 juta per bulan.
Tak hanya karyawannya yang bisa merasakan manfaat ekonomi HS Collections. Pemasaran produk konveksi HS Collections turut melibatkan buruh pabrik garmen yang tinggal di sekitar kawasan Citereup, Kabupaten Bogor. Setidaknya sudah 20 buruh pabrik garmen yang ikut memasarkan produk konveksi Sumairah. Seiring membesarnya usaha, Sumairah bisa meraup omzet hingga Rp 30 juta per bulan.
Sayangnya, manfaat pembiayaan bank yang dirasakan Sumairah belum dirasakan semua pengusaha perempuan. Ada berbagai alasan yang membuat pengusaha perempuan enggan menggunakan kredit bank. Data Bank Dunia mengungkap 40 persen pengusaha perempuan beralasan tidak mengambil kredit karena terlalu mahal dan prosedur yang rumit. Mereka juga beralasan tidak butuh layanan bank (38 persen), tidak memiliki agunan (24 persen), dan bisnis terlalu kecil (21 persen).
Sedangkan, penelitian kuantitatif lembaga riset Synovate pada 2008 yang menanyai 206 pedagang di pasar Yogyakarta dan Medan, mengungkap proses yang rumit paling sering (34 persen) jadi alasan mereka enggan meminjam ke bank. Alasan lain yang diungkap dalam penelitian itu yakni tidak punya uang (28 persen), tidak butuh (20 persen), lokasi terlalu jauh (10 persen), malu masuk bank (4 persen), dan tidak dilayani dengan baik (4 persen). Bahkan, 71 persen dari pedagang tersebut mengaku belum pernah meminjam dari bank.
Info grafis: Sudah Pahamkah Perempuan dengan Keuangan?
Selain sulitnya akses kredit tersebut, menurut Pendiri Lembaga Penelitian Ekonomi Core Indonesia, Hendri Saparini, pengusaha perempuan ogah memanfaatkan kredit bank karena literasi keuangan yang rendah. Dia melihat referensi data Bank Dunia, pemahaman atau tingkat literasi keuangan perempuan Indonesia berusia lebih dari 15 tahun pada 2014 hanya 37,2 persen, yang sebenarnya sudah membaik dari 2011 sebesar 19,2 persen. Sementara, data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melakukan survei pada 2016 menunjukkan angka yang lebih rendah. Perempuan yang memahami keuangan hanya 25 persen, lebih rendah dibanding laki-laki 33 persen.
Jika literasi keuangannya tinggi, Hendri percaya perempuan pengusaha terutama sektor UMKM bisa menggerakkan ekonomi nasional. “Ekonomi Indonesia berbasis UMKM. Kalau kita gerakkan sangat potensial,” kata dia dalam sebuah diskusi di Bandung, pertengahan Oktober.
Hal itu mengingat pekerja perempuan lebih banyak di sektor jasa yang masuk kategori UMKM. Data dari BPS pada Februari 2017 menunjukkan tenaga perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki di jenis usaha tenaga profesional, usaha penjualan, dan usaha jasa. Sementara, penduduk bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan pada 2017 sebagian besar berada di sektor jasa (48 persen), dibanding pertanian (32 persen) dan manufaktur 20 persen.
Usaha untuk meningkatkan pemahaman dan pemanfaatan layanan lembaga jasa keuangan (inklusi) termasuk perempuan, sebenarnya telah menjadi program nasional. Lewat Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang diluncurkan pada 2016, pemerintah merancang cara komprehensif untuk meningkatkan indeks keuangan inklusif Indonesia. Strategi yang disusun melibatkan antarkementerian dan lembaga itu, salah satu pilarnya adalah literasi keuangan. "Muara dari edukasi adalah inklusi," kata Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK Horas Tarihoran.
Literasi yang mewujudkan inklusi keuangan akan mendorong kondisi ideal yakni jumlah orang yang memanfaatkan produk lembaga keuangan sama dengan jumlah orang paham keuangan. Tetapi, kondisi di Indonesia berbeda. Tingkat literasi rendah tidak sebanding dengan tingginya tingkat inklusi. Inilah yang menjadi sumber kerawanan masalah keuangan seperti penipuan investasi bodong.
Dengan program SNKI, OJK melakukan edukasi keuangan di semua level usia dan pendidikan. Pendekatan lewat jenjang pendidikan formal melalui pelatihan guru dan dosen agar dapat mengedukasi anak didiknya. OJK menerbitkan buku referensi untuk edukasi keuangan itu.
Simak berita ini dalam video berikut: Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
Program edukasi keuangan juga dilakukan dengan pendekatan komunitas. Materi edukasi keuangan akan disesuaikan dengan kebutuhan setiap komunitas. Untuk komunitas perempuan biasanya diberikan materi edukasi perencanaan dan pengelolaan keuangan. "Percuma juga kita minta mereka investasi atau nabung, kalau uang tidak punya kan. Nah, bagaimana cara mereka punya uang, mereka harus kelola keuangannya," kata Horas. Komunitas yang telah dijangkau OJK bervariasi dari pengusaha UMKM, kelompok PKK, Darma Wanita, hingga komunitas pemakai hijab atau hijaber.
Horas menyebut lebih dari 50 persen program edukasi keuangan menyasar ke perempuan. Sasaran ini dipilih karena strategis untuk pendidikan keuangan. "Perempuan adalah menteri keuangan," kata Horas. Peran perempuan di Indonesia yang masih lebih banyak mengelola keuangan diharapkan bisa berdampak pada anggota keluarga lainnya.
Program edukasi itu ditargetkan bisa meningkatkan tingkat literasi keuangan hingga 35 persen pada 2019 mendatang. Target itu akan dicapai lewat berbagai strategi edukasi baik pendidikan konvensional hingga penggunaan teknologi seperti program laku pandai dan kampanye media sosial. Hanya saja, Horas mengatakan ada tantangan keterbatasan jangkauan OJK dan kemauan masyarakat untuk mengakses informasi.
Tingkat literasi terus didongkrak agar tidak hanya bisa meningkatkan inklusi keuangan. Di level mikro, pemahaman keuangan yang bermuara pada inklusi bisa mendorong perubahan sosial seperti yang dilakukan Sumairah dengan berbagi kesejahteraan bersama buruh garmen. Dampak yang jauh lebih besar kemudian bisa diharapkan di tingkat makro. Seperti kata Horas, “negara yang tinggi tingkat literasi keuangannya, tingkat kesejahteraannya juga tinggi."
Baca laporan mendalam tentang Literasi Keuangan Perempuan:
1. Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
2. Gemar Menabung Ala Emak Cisalak
3. Bank dan Ibu Rumah Tangga Berbagi Sejahtera
4. Sumairah, Bangun Usaha Sejahterakan Tetangga