EKBIS.CO, Hari telah sore saat Dessy Raudhatul Jannah dan Nunung Nurhaeti berjalan kaki menyusuri jalan setapak di kompleks perumahan Gang Masjid Al Islah, Cisalak, Depok, Jawa Barat. Dessy menenteng sebuah buku ukuran besar. Nunung membawa tas merah muda. Setelah lima langkah, keduanya berhenti di depan sebuah rumah.
“Uwak, nabung nggak?” kata Dessy.
Pemilik rumah menyahut. Dari balik pintu, seorang perempuan berusia 50an tahun menampakkan diri. Ia mengulurkan uang Rp 50 ribu dan sebuah buku mungil.
Dessy mencatat di buku. Nunung menerima uang. Selesai mencatat, buku kecil dikembalikan ke pemilik rumah. Dessy dan Nunung kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah warga lainnya untuk mengumpulkan tabungan warga.
Sore itu, keduanya menghampiri 70 rumah. Hampir 1,5 jam lamanya. Ada 87 warga yang menabung. Sebagian besar dari mereka adalah ibu rumah tangga. Sebagian lagi adalah anggota keluarga mulai dari anak-anak, remaja, hingga lansia.
Hampir setiap hari Dessy dan Nunung mengumpulkan tabungan warga. Keduanya hanya libur setiap Ahad. Tapi, jika sore hari itu hujan, mereka juga enggan. Mengumpulkan tabungan warga sudah dilakukan Dessy dan Nunung selama lima tahun. Meskipun, program tabungan warga itu sebenarnya telah berlangsung sejak 2002. Hanya saja, model tabungan dan petugasnya tak sama.
Tabungan warga bermula dari inisiatif kelompok arisan ibu-ibu rumah tangga di RT 3 yang beranggotakan sekitar 70 orang. Mereka mengumpulkan tabungan agar memiliki dana untuk merayakan bulan Ramadhan. Tabungan akan dibagikan ke masing-masing penabung sepekan sebelum bulan puasa.
Di awal tabungan warga berjalan, mereka mendapatkan kembali barang. Tabungan masing-masing warga dibelikan paket barang oleh pengurus arisan. Isi paket bervariasi dari minyak goreng, tepung terigu, hingga daging sapi. “Paket barang itu cuma bertahan tiga tahun,” kata Nunung. Paket barang diganti karena harganya tak tetap. Tabungan kemudian kembali ke warga dalam uang tunai.
Simak berita ini dalam video berikut: Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
Setiap nasabah menabung bervariasi. Ada yang menabung seribu, ada yang Rp 500 ribu. Dalam sehari, Dessy dan Nunung bisa mengumpulkan tabungan warga Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. Dalam cacatan buku besar, jumlah tabungan warga selama September 2017 terkumpul lebih dari Rp 11 juta. Bulan lainnya terkumpul lebih besar, Agustus lalu, tabungan warga sampai tembus Rp 20 juta. Tahun lalu, Rp 130 juta terkumpul dari tabungan warga.
Setelah tabungan warga terkumpul, Dessy dan Nunung menyerahkannya ke pengurus RT. “Kami kumpulkan tabungan dari warga selama tiga hari, lalu setor ke bu RT,” kata Nunung. Pengurus RT itu kemudian akan menyetorkan tabungan warga ke bank.
Selama bertugas menjadi pengumpul tabungan warga, Dessy dan Nunung mendapatkan upah. Mereka mendapatkannya setahun sekali. Upah keduanya berasal dari potongan tabungan warga. Setiap tabungan akan dipotong sebesar lima persen di akhir periode. Hasil dari potongan itu dibagi 2,5 persen untuk petugas yang mengumpulkan tabungan. Sisanya, masuk ke kas RT.
Tahun lalu, Dessy dan Nunung menerima Rp 2,5 juta dibagi dua. Dessy mengaku semakin besar tabungan warga, maka akan semakin besar pula upah yang diterima. Tetapi, upah bukan satu-satunya faktor yang membuatnya mau mengumpulkan tabungan warga. “Kalau cuma upah, awal-awal juga malas, tetapi warga ini kan nungguin. Mereka nanya kemana kalau nggak keliling. Harapan warga ini kan semakin sering mereka menabung, mereka akan menerima banyak juga nanti,” ungkapnya.
Adanya potongan pada tabungan itu diakui Etty Yuniarti, istri pengurus RT setempat, sudah melalui musyawarah warga. Saat awal tabungan warga diusulkan, pengurus RT mengumumkan adanya potongan lima persen. “Ini sudah persetujuan warga,” ujarnya.
Dalam musyawarah itu disepakati selain untuk upah petugas, uang dari potongan tabungan untuk santunan mulai anak yatim, janda, hingga infaq masjid. Sebagian dari potongan tabungan juga digunakan untuk barang inventaris RT seperti piring dan gelas serta sembako untuk kegiatan warga. Bunga yang didapatkan dari tabungan bank juga dimasukkan dalam kas.
Transparansi keuangan tabungan warga ini mengandalkan pencatatan di dua buku. Satu buku dipegang pemilik tabungan. Satu lainnya dipegang petugas. “Setiap hari kedua buku ini dicocokkan dan dicatat. Uang fisiknya juga jumlahnya harus sama, beda Rp 1.000 harus cari, karena namanya duit ini sensitif, “ kata Etty.
Tabungan warga akan disetorkan ke bank saat sudah mencapai lebih dari Rp 5 juta. Etty yang menjadi pengurus arisan RT bisa menyetorkan tabungan warga ke bank setelah lima hari. Jika nilainya kecil, Etty memilih menunggu hingga paling lama 10 hari untuk ke bank.
Etty menabungkan tabungan warga ke bank BJB cabang Cisalak yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. “Ini rekening khusus yang memang dibuat hanya untuk tabungan warga,” kata dia. Tetapi, rekening tersebut bukan atas namanya, melainkan milik suaminya yang juga Ketua RT, Enang Supena.
Trauma pernah menjadi korban penipuan modus transfer lewat ATM menjadi alasan Etty enggan membuka rekening bank atas namanya sendiri. Kala itu, 2012, Etty mendapat sebuah panggilan telepon dari seseorang yang mengaku petugas PT Telkom ingin memberikan hadiah.
Etty menyadari adanya modus penipuan melalui telepon. Tetapi, Etty yang merupakan pelanggan Telkom itu percaya saja saat penipu menyakinkannya untuk pergi ke ATM terdekat. Penipu ternyata memandunya untuk mentransfer sejumlah uang. Uang Rp 20 juta di rekeningnya amblas. “Saya selalu ingetin warga hati-hati, banyak modus penipuan, tapi saya yang kena. Sejak itu, saya nggak berani lagi pakai ATM,” ujar Etty.
Keengganan menggunakan produk bank juga dirasakan Dessy. Perempuan yang berprofesi sebagai guru PAUD itu sudah menutup rekening bank karena kerepotan saat lupa PIN kartu debit saat ke mesin ATM. “Saya kapok ke bank gara-gara ganti PIN terus. Kalau pakai kartu kredit juga takut khilaf (belanja),” ujarnya.
Dessy lebih memilih tabungan warga untuk menggantikan produk bank. Dia yang juga menjadi nasabah tabungan ini merasakan kemudahan dari mekanisme menabung hingga pinjaman. “Nabung di sini bisa kecil, taruhlah Rp 5.000 bisa. Kalau di bank, minimal Rp 100 ribu, antrenya dua jam,” ujarnya.
Selain itu, dia mengaku bisa menarik tabungannya itu sewaktu-waktu yang diibaratkannya seperti pinjaman atau kredit. Uang yang ditabung tersebut ditarik selama waktu tertentu, yang kemudian dikembalikan lagi. Meski tabungan sendiri, Dessy mau mengembalikan lagi ke jumlah semula agar di akhir periode uang tabungannya bisa lebih besar.
Selama ini, pembayaran gajinya dan suami pun dibayar tunai. Sehingga, Dessy mengaku belum membutuhkan produk perbankan. Jika membutuhkan transfer pembayaran lewat rekening bank, dia lebih memilih untuk menitip transaksi kepada rekannya.
Kantor bank di sekitar kompleks perumahan Cisalak sebenarnya tak cukup jauh untuk dijangkau. Dalam radius sekitar 1 km, warga bisa menemukan kantor cabang maupun kantor kas berbagai bank yakni Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, BNI, BCA, CIMB Niaga, BRI, dan BTN. Akan tetapi, sebagian warga kompleks lebih memilih menabung di tabungan warga. “Nggak perlu repot kayak bank, petugas keliling nyamperin dan bebas nabung berapa saja, meski ya mentok layanan tabungan saja,” kata Ridho Nur Fajar.
Jika dibandingkan tabungan warga, ia mengakui bank memiliki lebih banyak manfaat dan layanan. Akan tetapi, pemuda 26 tahun ini tetap memilih menabung lewat tabungan warga. Alasannya, tabungan warga lebih simpel dan petugas keliling memudahkan untuk menabung uang kecil..
Lulusan Universitas Al Azhar itu juga mengatakan jarang menggunakan layanan perbankan meski memiliki rekening di salah satu bank BUMN. “Paling layanan bank itu buat pembayaran gaji sama transfer pembayaran belanja online,” ujar pria yang menjadi pekerja lepas untuk perusahaan percetakan itu. Sementara, kegiatannya menabung tetap mengandalkan tabungan warga.
Ridho mengakui tabungan itu membantunya dan warga di kompleks perumahan untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi, kebutuhan yang terpenuhi hanya sebatas barang konsumsi. Jika ada bank, dia membayangkan ibu rumah tangga bisa mengembangkan usaha mikro. “Tapi tetap tergantung nasabahnya, apa mau pakai bank,” ujarnya.
Model pengumpulan tabungan warga seperti yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga di kompleks perumahan Cisalak Depok tersebut memiliki kemiripan dengan budaya jimpitan yang dikenal populer di wilayah Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta. Jimpitan merupakan model penggalangan dana masyarakat yang digunakan untuk kepentingan sosial. Jimpitan berasal dari bahasa Jawa Jimpit, yang berarti mengambil dengan ujung jari.
Dalam penelitian yang dilakukan Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM, Surono pada 2012 di Bragasan, Sleman, Yogyakarta, praktik jimpitan dilakukan dengan berbagai cara seperti memasang wadah kecil di depan rumah yang diisi dengan uang agar diambil petugas setiap malam. Petugas yang berkeliling dari rumah ke rumah dalam satu RT adalah warga yang mendapat giliran ronda setiap malam. Dana jimpitan yang terkumpul kemudian diserahkan ke bendahara RT. "Semacam tabungan komunal," kata Surono. Dana ini akan digunakan untuk berbagai kegiatan warga dari membangun jalan hingga perayaan hari besar.
Praktik jimpitan umumnya mengumpulkan uang, tetapi Surono mengungkap masyarakat sempat memakai beras. Seiring waktu, pengumpulan beras dinilai kurang efektif sehingga diganti dengan uang. Besaran uang dalam jimpitan ini sesuai kerelaan masing-masing warga.
Di wilayah yang diteliti Surono, model jimpitan berdasarkan kerelaan warga yang menyediakan uang untuk kepentingan komunitas. Akan tetapi, model jimpitan di wilayah lain bervariasi. Model lainnya yakni dana sosial yang besaran iurannya ditentukan. Selain itu, model arisan yang memotong sebagian perolehan peserta arisan untuk dana sosial. Ada juga model dana kematian untuk membiayai kebutuhan biaya pemakaman warga yang meninggal. Model-model itu bermuara pada keberadaan dana masyarakat yang bisa digunakan untuk kepentingan sosial.
Praktik model-model tersebut sebagian berbeda dengan jimpitan. Surono mengidentifikasi jimpitan memiliki kekhasan yakni dilakukan setiap malam pada saat ronda atau kegiatan jaga kampung. "Jimpitan ini pekerjaan sosial yang cukup berat, dia harus ronda," kata dia. Kekhasan ini masih terus dipraktikkan di sebagian wilayah Jawa, meski secara konsep juga dikenal di Lampung.
Jimpitan menurut Surono bermanfaat bagi masyarakat hingga termasuk pemerataan kesejahteraan. Dana jimpitan sering dipakai lebih dari sekadar untuk kegiatan warga tetapi hingga beasiswa keluarga miskin dan ongkos kesehatan. "Kalau mengandalkan bantuan negara, agak berat," kata dia.
Dengan semangat dana sosial ini, Surono sempat merekomendasikan model jimpitan sebagai sarana membangun integrasi ekonomi di kawasan ASEAN. Jimpitan dinilainya memiliki tiga nilai utama, yakni kebersamaan, sukarela, dan bergilir. Model ini bisa meminimalisasi utang dari lembaga donor. Dengan kemiripan sosio-kultural, jimpitan bisa dipraktikkan di ASEAN untuk menciptakan integrasi ekonomi yang mengatasi ketimpangan kesejahteraan antarnegara anggota. Salah satu model jimpitan itu bisa saja mencontoh tabungan warga.
Baca laporan mendalam tentang Literasi Keuangan Perempuan:
1. Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
2. Gemar Menabung Ala Emak Cisalak
3. Bank dan Ibu Rumah Tangga Berbagi Sejahtera
4. Sumairah, Bangun Usaha Sejahterakan Tetangga