EKBIS.CO, Dua puluh menit sebelum pukul 08.00 pagi, Siti Khadijah berangkat kerja. Dia berjalan kaki menuju tempat kerjanya di Sireumkilang RT 4 Rw 8, Tarikolot, Citereup, Kabupaten Bogor. Dia menyusuri jalan setapak sebelum berbelok ke sebuah bangunan mirip garasi dengan patung manekin berpakaian warna-warni berjajar tak teratur. Berbagai pakaian tergantung di rak hingga sisi tembok dalam bangunan. Di atas bangunan itu tertulis Toko HS Collections.
Siti hanya perlu melangkah 10 meter dari Toko HS Collection untuk sampai di tempat kerja. Tempat kerjanya berada di teras sebuah rumah bercat kuning dan hijau. Dia segera duduk di belakang sebuah meja mesin jahit yang berjejer sesak bersama kotak-kota berisi kain dan gulungan benang. Ia bersama lima orang lainnya di teras itu.
Pekerjaan di konveksi Siti dapatkan setelah sempat menganggur saat kehamilan anak pertamanya. Sebelumnya, ia bekerja di sebuah pabrik garmen di Tarikolot, masih satu desa dengan rumahnya. "Saya hamil, lalu memilih keluar dari pabrik," kata dia di penghujung Oktober 2017.
Usaha konveksi tempat ia bekerja adalah usaha milik tetangganya, Sumairah. Dia bersedia bekerja di konveksi kecil itu karena dekat dengan rumahnya. Siti cukup berjalan kaki 20 menit lima hari seminggu untuk bekerja di konveksi milik Sumairah. Keterampilan menjahit yang sudah dikuasai saat bekerja di pabrik garmen membuat Siti tak kesulitan. Dia bisa menjahit 25 potong pakaian anak setiap hari. Di akhir bulan, ia mendapat gaji Rp 2 juta.
Keterampilan menjahit Siti menjadi alasan Sumairah untuk mendirikan usaha konveksi. Wanita asal Pulau Madura itu sendiri tidak bisa menjahit. Siti dan tetangga lainnya yang tidak diperpanjang kontraknya di buruh garmen meminta pekerjaan. “Saya tanya, bisa apa saja, lalu mereka minta dibeliin mesin jahit. Awalnya mereka jahit sendiri, dikelilingin (jual) sendiri,” kata Sumairah.
Usaha konveksi bukan bisnis pertama yang dimiliki keluarga Sumairah. Dalam perantauannya di Jakarta hingga Bogor bersama suami, Ahmad Sahid, bermacam usaha dicoba. Kala itu, 1989, Sumairah bersama Sahid memilih berpindah ke Jakarta dari Madura untuk usaha dagang ayam hidup. Namun, usahanya itu kolaps tidak lama setelah buka.
Setelah usaha dagang ayam hidup bangkrut, keluarga Sumairah tak mau menyerah dalam membangun bisnis. Usaha jual sate ayam digelutinya hingga memutuskan berpindah ke Kabupaten Bogor pada 1999. Usaha sate keluarganya bisa bertahan hingga kini. Suaminya bahkan mengembangkan usaha jual beli besi tua. Kesuksesan dua usaha bersama suaminya inilah yang membuat Sumairah berkenalan dengan bank.
Simak berita ini dalam video berikut: Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
Sumairah mengingat tahun itu sebelum 2000, saat ia menemukan tumpukan uang yang sobek di bawah dipan. "Sepertinya dimakan tikus," kata dia. Jumlah uang itu dia hitung sampai sekitar puluhan juta.
Uang itu ia temukan setelah terbiasa menyimpan uang di bawah kasur. "Sampai kelupaan," ujarnya. Menemukan uang jutaan yang sudah tak layak, Sumairah berbagi informasi kepada tetangganya saat baru berpindah ke Kabupaten Bogor.
Tetangganya itu menawari jasa untuk menukarkan uang sobek tersebut ke kantor Bank Indonesia. "Katanya bisa ditukarkan, ya sudah saya kasih ke dia," kata ibu yang memiliki dua anak itu. "Ternyata orangnya habis itu lari entah kemana, tidak kembali."
Dari pengalaman itu, Sumairah berinisiatif ke bank untuk membuka rekening tabungan bersama suami. Setelah memiliki tabungan, suaminya memanfaatkan pembiayaan perbankan untuk mengembangkan usaha sate ayam dan besi tua. Sumairah kemudian juga tertarik memanfaatkan pembiayaan bank setelah mendapat ide berbisnis konveksi.
Konveksi HS Collection dibuka mulai 2014. Modalnya, berasal dari pembiayaan Bank Syariah Mandiri. Sumairah menarik pembiayaan Rp 100 juta. Dana ini digunakan untuk membeli mesin jahit dan kebutuhan kain.
Kain yang dibelinya berasal dari wilayah Cileungsi. Ia membeli limbah kain sisa sejumlah pabrik garmen. Limbah kain ini dijahit lagi menjadi aneka pakaian seperti kaos anak, pakaian dalam, hingga busana muslim.
Meski skala usaha rumahan, karyawan HS Collection bisa menghasilan ratusan potong pakaian dalam sehari. Seorang karyawan bisa menghasilkan 50 buah celana dalam dalam sehari. Tetapi, jika pakaian anak, 15-25 buah dihasilkan dalam sehari. Pakaian ini dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp 5.000 per potong untuk celana dalam hingga Rp 200 ribu untuk gamis.
Selain hasil kerja para karyawannya, Sumairah menjual pakaian jadi yang dibelinya secara grosir. Pakaian ini tidak hanya dijual lewat toko. Buruh pabrik garmen juga kerap kulakan di tokonya untuk diedarkan kembali ke rumah-rumah warga hingga ke sesama rekan buruh. Setidaknya 20 orang yang bekerja sebagai buruh garmen turut menjadi tenaga pemasaran HS Collections. "Kami juga terima pesanan," kata Sumairah. Setiap bulan omzet yang didapat Sumairah mencapai Rp 30 juta.
Seiring besarnya bisnis, Sumairah semakin banyak menggunakan produk bank. Dari awalnya hanya membuka tabungan, lalu pembiayaan, kini dia memanfaatkan produk lain seperti cicil emas dan asuransi. Layanan perbankan pun dia coba untuk membayar gaji karyawan. Meski belum menggunakan layanan gaji otomatis, dia menyarankan karyawannya memiliki rekening bank.
Kepemilikan rekening bank dirasakan Sumairah memberinya kemudahan. Saat karyawan meminta gaji di awal bulan, dia memilih mentransfer lewat bank. "Biar nggak itung-itungan, mereka kalau kas bon (pembayaran gaji di muka), ditransfer," kata dia. Meskipun, pembayaran gaji utama masih dilakukan secara tunai.
Kemudahan menggunakan produk perbankan turut membuat Ita Rosita, karyawan HS Collections tertarik membuka rekening bank. "Sebelumnya saya nggak nabung, biasanya nitip uang ke tempat ibu (Sumairah)," kata dia. Ibu enam anak ini kemudian membuka rekening Bank Syariah Mandiri atas namanya sendiri untuk menyimpan tabungan.
Perempuan 37 tahun itu sebenarnya lebih menyukai pembayaran gaji secara tunai. Tetapi, keinginan untuk dapat memiliki tabungan membuatnya bersedia membuka rekening bank. Apalagi, dia juga bisa meminta gaji lebih awal dengan ditransfer lewat rekening bank. Selain tabungan, Ita belum mau memanfaatkan produk bank lainnya seperti pembiayaan. "Belum butuh. Gaji juga belum cukup untuk modal usaha," kata dia.
Kebutuhan dan kemampuan nasabah memang dilihat Bank Syariah Mandiri dalam penyaluran pembiayaan. Manager Kantor Cabang Citereup Bank Syariah Mandiri, Niken Larasati mengisahkan HS Collections menjadi nasabahnya setelah Sumairah membutuhkan pendanaan untuk usaha konveksi pada 2014. Meskipun, Niken mengakui pembiayaan itu menuntut layanan yang mempermudah UMKM.
Saat UMKM belum memiliki pembukuan keuangan yang rapi, Niken membantu untuk memudahkan mereka dengan meminta catatan keluar masuk barang. "Kita minta (catatan) bon-bon mereka," kata Niken. Dengan bantuan itu, HS Collection ditawari BSM untuk kembali memanfaatkan pembiayaan yang lebih besar. “Enam bulan kami pantau, kalau lancar, kami top up (naikkan pembiayaan),” ujarnya.
Setelah tiga tahun usaha, Sumairah telah melibatkan tetangganya dan puluhan buruh pabrik garmen untuk meningkatkan ekonomi. Manfaat itu akan lebih besar lagi karena Sumairah akan membuka toko sandang di kampung halamannya, Madura. Dia ingin menambah dua toko di Bogor dan satu toko lagi di Bangkalan. Skala bisnis ini membuat Sumairah kembali ditawari Bank Mandiri Syariah untuk memperbesar pembiayaan. “Biar bisa buka cabang lagi,” kata Sumairah.
Baca laporan mendalam tentang Literasi Keuangan Perempuan:
1. Perempuan Paham Keuangan Bawa Perubahan
2. Gemar Menabung Ala Emak Cisalak
3. Bank dan Ibu Rumah Tangga Berbagi Sejahtera
4. Sumairah, Bangun Usaha Sejahterakan Tetangga