Selasa 28 Nov 2017 16:36 WIB

Ekonomi Lemah, Ini Masukan CORE untuk Kebijakan Pemerintah

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nur Aini
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tidak akan mencapai level 5,1 persen. Pendiri CORE Hendri Saparini menyatakan, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kurang memuaskan.

"Perkiraan kami mungkin tahun ini kita tidak akan mencapai 5,1 persen. Sedikit di bawah 5,1 persen," ujar Hendri di Jakarta, Selasa (28/11).

Salah satu faktor yang mempengaruhi hal itu adalah perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal itu pun tercermin pada laporan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2017. "Jadi yang terpenting kita tidak mendebat ada perlambatan pertumbuhan konsumsi. Yang terpenting, adalah bagaimana menciptakan kebijakan yang bisa meningkatkan konsumsi masyarakat," ujar Hendri.

Menurut Hendri, pemerintah perlu menerbitkan kebijakan-kebijakan inovatif yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi sesuai target pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hendri menekankan, saat ini ekonomi domestik juga tengah mengalami perubahan cepat mulai dari perkembangan teknologi informasi, internet, robotisasi, dan perubahan gaya hidup masyarakat.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2018 bisa mencapai 5,4 persen. Meski begitu, CORE menilai, tanpa ada kebijakan yang inovatif, ekonomi Indonesia pada 2018 hanya akan tumbuh di kisaran 5,1 hingga 5,2 persen.

Hendri menilai, 2018 akan menjadi momentum penting bagi Presiden Joko Widodo. Ini karena 2018 merupakan tahun politik yang di dalamnya terdapat hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan persiapan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Hendri menekankan tiga hal yang perlu menjadi fokus pemerintah dalam membuat inovasi kebijakan. Pertama, yakni mengenai strategi dalam perpajakan. Hendri menilai, selama ini kebijakan perpajakan Indonesia belum optimal karena masih fokus pada upaya meningkatkan penerimaan dan tidak selaras dengan agenda strategis pemerintah. "Jadi belum mampu mendorong agenda pemerintah yang lain. Misalnya, penetapan pajak untuk sektor pendidikan. Pajak kertas dan buku itu belum selaras," ujarnya.

Kemudian, Hendri meminta pemerintah menjaga stabilitas moneter dan inovasi pembiayaan. Ia mengatakan, jumlah pelaku usaha Indonesia saat ini lebih dari 50 juta orang. Sementara, sektor UKM saat ini masih membutuhkan pembiayaan. "Kalangan menengah itu punya kemampuan untuk sharing membantu pembiayaan kelompok bawah. Tapi kita tidak punya media dan tidak ada data untuk UKM. Kita perlu ada institusi pembiayaan yang bisa membiayai mereka," ujarnya.

Selain itu, Hendri mengaku pemerintah perlu meningkatkan sinergi dan sinkronisasi perencanaan. Contoh yang disorot Hendri adalah pelaksanaan Asian Games 2018. Untuk perhelatan pesta olahraga terbesar di Asia tersebut, Pemerintah mengalokasikan dana tidak kurang dari Rp 30 triliun. "Pertanyaannya, bisnis apa yang sedang diciptakan pemerintah dengan adanya Asian Games itu?" kata Hendri.

Ia membandingkan dengan Jepang yang pada 2020 akan menggelar Olimpiade. Ia mengaku, Jepang bahkan sudah menyiapkan suvenir untuk Olimpiade Tokyo 2020 sejak 2012. "Artinya, kita ingin pemerintah memang mengeluarkan anggaran untuk perhelatan itu tapi tidak untuk menjadi cost melainkan menjadi investasi dan return-nya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat," kata Hendri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement