EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, jaringan keagenan masih tergolong baru di Indonesia. Meski begitu, dinilai sangat optimistik. Direktur Pengembangan Keuangan Inklusif OJK Eko Ariantoro mengatakan, dengan tantangan geografis yang tersebar secara kepulauan, dalam tiga tahun para penyedia jasa keuangan digital telah membangun jaringan berbagai outlet agen yang ekstensif di hampir seluruh daerah di Indonesia.
"Mereka melakukan pekerjaan luar biasa dalam membangun jaringan outlet-outlet agen," ujarnya melalui keterangan resmi yang diterima Republika, Selasa (5/12).
Lebih lanjut, Eko menjelaskan, jaringan keagenan di Indonesia menempati peran penting dalam meningkatkan inklusif keuangan digital. Pasalnya tingkat kepemilikan ponsel pintar (smartphone) yang tinggi serta literasi digital ditambah penawaran produk beragam, mendorong perkembangan jaringan keagenan.
Helix Institute of Digital Finance baru saja melakukan survei mengenai jaringan keagenan jasa keuangan digital. Survei berfokus pada jaringan keagenan jasa keuangan digital. Dengan mewawancarai sampel sebanyak 1.300 agen jasa keuangan digital baik Laku Pandai serta LKD dari 15 provinsi di Indonesia pada periode Juli sampai September 2017.
Hasilnya, sejalan dengan regulasi yang ada, Indonesia memiliki agen eksklusif terbesar dibandingkan negara lain, dengan persentase 97 persen. Kemudian sebanyak 96 persen dari agen di Indonesia merupakan agen nondedikasi, yaitu agen yang memiliki usaha lain sebagai sumber penghasilannya.
Dibandingkan agen dedikasi, agen nondedikasi dinilai secara signifikan mampu mendapatkan profit lebih tinggi dari usaha keagenannya. Kemudian, rata-rata agen di Indonesia melakukan empat transaksi per hari. Sedangkan agen di Jabodetabek mampu melakukan rata-rata 10 transaksi per hari.
Helix Institute menyebutkan, ekspansi jaringan agen yang kurang, ditambah dengan volume transaksi rendah menyebabkan profitabilitas agen menjadi rendah. Hasil survei memperlihatkan, sebanyak 26 persen agen di Indonesia justru alami kerugian atau bahkan tidak mampu mencapai break event poin dari usahanya.
Meski begitu, mayoritas agen atau 91 persen menyatakan, mereka optimis dan tetap berharap bisa tetap menjadi agen jasa keuangan digital di masa depan.
"Ini adalah survei pertama tentang jaringan keagenan di Indonesia yang memberikan wawasan terkait bisnis keagenan. Maka saya harap, perbankan dan pihak lain terkait, dapat memanfaatkan hasil survei semaksimal mungkin untuk mengembangkan bisnis keagenan yang berkelanjutan," tutur Eko.