EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah akhirnya memutuskan tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik hingga triwulan pertama (Maret) 2018. Keputusan ini dirasakan cukup janggal mengingat makin kuatnya tekanan terhadap harga BBM dan listrik yang muncul belakangan ini.
Harga premium tetap berada pada harga Rp 6.450 per liter, sedangkan solar Rp 5.150 per liter. Kemudian untuk TDL subsidi, yaitu golongan R-1/450 VA dan R-1/900 VA masing-masing Rp 415/kWh dan Rp 586/kWh.
Sementara untuk TDL nonsubsidi, yaitu golongan R-1/900 VA-RTM (Rumah Tangga Mampu) dan golongan R-1/1.300 VA sampai R-1/6.600 VA ke atas masing-masing Rp 1.352/kWh dan Rp 1.467,28/kWh.
Salah satu faktor yang menjadi pembentuk harga BBM ataupun TDL adalah harga minyak mentah dunia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan membenarkan, saat ini harga komoditas itu terus naik hingga menyentuh 66 dolar AS per barel. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) diasumsikan sebesar 48 dolar AS per barel.
Namun, menurut Jonan, pemerintah memperhatikan dengan saksama kondisi perekonomian warga dalam memutuskan naik atau tidaknya harga BBM dan TDL. Kenaikan harga BBM dan listrik jelas akan berdampak langsung kepada daya beli masyarakat.
"Keputusan ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat," ujar Jonan di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/12).
Sebagai konsekuensi dari keputusan ini, Jonan meminta kepada dua perusahaan pelat merah pengelola BBM dan listrik, yaitu PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), untuk meningkatkan efisiensi. Dengan begitu, kondisi keuangan Pertamina dan PLN, tetap terjaga.
Pernyataan yang disampaikan Jonan juga sejalan dengan penegasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kantornya, beberapa waktu lalu. Menkeu memastikan, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM, TDL, dan juga elpiji 3 kg pada tahun depan.
Langkah pemerintah dalam rangka menjaga daya beli masyarakat sekaligus mengendalikan inflasi. Alokasi subsidi energi dalam APBN 2018 sebesar Rp 94,5 triliun. Perinciannya, subsidi BBM dan elpiji Rp 46,9 triliun serta subsidi listrik Rp 47,7 triliun.
Menanggapi keputusan pemerintah, pucuk pimpinan tertinggi Pertamina ataupun PLN menyatakan menerima. Berbagai langkah efisiensi pun telah disiapkan.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik menjelaskan, penghematan ongkos produksi BBM menjadi faktor kunci. Selain itu, ada pula efisiensi dalam proses distribusi. Kedua, lanjut dia, ada delapan program prioritas Pertamina di bawah kepemimpinannya sejak Maret 2017. Elia mengklaim program-program itu telah berbuah berupa efisiensi dalam kurun waktu enam bulan belakangan.
Selain itu, Elia menjelaskan, Pertamina juga melakukan efisiensi dengan mengganti model bisnis. Ia menjelaskan, selama ini, Pertamina melakukan manajemen stok BBM. Namun sekarang, setelah importasi, BBM langsung dilepas ke pasaran.
"Ini menekan biaya simpan, jadi lebih hemat. Itu kita lakukan di kilang dan downstream kita," kata Elia.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir memastikan kondisi keuangan PLN masih mumpuni untuk menerima keputusan pemerintah. Meskipun begitu, lanjut dia, harga batu bara sebagai komoditas utama dalam pembangkit-pembangkit milik PLN masih belum stabil.
Perihal efisiensi yang dilakukan, PLN menyiapkan berbagai langkah. Mulai dari zonasi batu bara dan menjaga kualitas batu bara serta menghemat ongkos produksi. "Prinsipnya kita tetap lakukan efisiensi. Mana-mana yang bisa kita tekan cost-nya kita lakukan," ujar mantan direktur utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk ini.
Pengaruhi APBN
Ahli ekonomi energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah sebaiknya menyiapkan antisipasi berupa bantalan anggaran subsidi dalam APBN. Tujuannya agar keputusan untuk tidak menaikkan harga BBM dan TDL tidak memberatkan Pertamina dan PLN.
"Sehingga menjadi jelas dan tidak menjadi beban Pertamina atau PLN," ujar Pri Agung.
Dia mengatakan, kebijakan pemerintah tak pelak akan memaksa Pertamina dan PLN merumuskan strategi untuk bisa bertahan. Langkah efisiensi yang diutarakan para petinggi kedua perusahaan pelat merah itu dinilai Pri Agung sebagai sesuatu yang normatif.
Sebab, menurut Pri Agung, keputusan untuk tidak menaikkan harga BBM dan TDL, akan membebani subsidi. Jika harga bahan baku naik, dalam hal ini minyak mentah dan batu bara, besaran subsidi yang harus digelontorkan juga akan lebih banyak.
"Tidak cukup lagi diatasi dengan efisiensi. Efisiensi dilakukan bukan untuk menutup subsidi, tetapi lebih kepada untuk peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan," ujar Pri Agung.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha menilai, keputusan pemerintah akan berdampak pada penurunan pendapatan dari Pertamina dan PLN. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah apabila kedua perusahaan pelat merah siap melaksanakan perintah pemerintah tersebut.
(Pengolah: muhammad iqbal).