EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat pertanian Khudori menilai kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras telah mengeliminasi usaha penggilingan di tengah gejolak harga beras yang tinggi. "Dengan HET, yang paling terpukul adalah industri penggilingan selain petani," katanya dalam diskusi Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (Pataka) bertajuk "Mudah Mainkan Data Pangan" di Jakarta, Kamis (18/1).
Khudori yang juga Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan itu menuturkan para pelaku usaha penggilingan harus menghitung ulang untung rugi akibat kebijakan yang diterapkan 18 September 2017 itu.Pasalnya, pelaku usaha penggilingan harus berpikir ulang untuk menggiling beras medium di tengah tingginya harga gabah.
"Dengan HET, mereka harus menghitung ulang potensi merugi. Harga gabah yang tinggi tidak bagus untuk beras medium," katanya.
Kebijakan tersebut, lanjut Khudori, kemungkinan besar akan dimanfaatkan pelaku usaha penggilingan untuk memproduksi beras apa adanya dan dijual seharga beras premium sehingga memperparah gejolak harga beras. "Mungkin itu juga kenapa fenomena beras tinggi terjadi. Imbasnya, HET ini pelan-pelan bisa mengeliminasi penggilingan-penggilingan tadi hilang dari peredaran," katanya.
Gabah
Gejolak harga beras, menurut dia, juga akan dipengaruhi oleh transisi pemberian raskin dan rastra menjadi bantuan langsung tunai kepada 15,5 juta rumah tangga tidak mampu. "Sekarang mereka menerimanya dalam bentuk uang, ini bisa jadi akan menambah eskalasi harga dan sangat mungkin jadi penyebab harga pangan jadi tinggi," tuturnya.
Khudori mengatakan fenomena gejolak harga beras bukan hal baru di Indonesia karena terus berulang. Ia menyebut meski secara makro gejolak beras belum signifikan berpengaruh terhadap inflasi, stabilisasi harga mutlak perlu dilakukan.
"Stabilisasi akan berhasil kalau ada integrasi hulu ke hilir," katanya mengingatkan.