EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengingatkan potensi kelangkaan komoditas bawang putih karena minimnya stok dan keengganan importir untuk menanam bibit bawang putih.
Menurut Dwi, salah satu penyebab potensi kelangkaan bawang putih, selain karena tingginya kebutuhan, adalah munculnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Dalam peraturan tersebut, kata dia, terdapat kewajiban bagi para importir untuk menghasilkan atau menanam sebanyak lima persen bawang putih dari total izin impor yang telah didapatkan untuk memenuhi pasokan.
"Importir ya importir, mereka pedagang. Masak disuruh bertani," ujar Dwi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Ahad (28/1).
Dwi menjelaskan, jika seorang importir ingin mengeksekusi hak impor sebanyak 1.000 ton bawang putih dalam setahun, importir tersebut harus memproduksi sekitar 50 ton bawang putih dari kebun yang telah ditanami.
Jika setiap hektare lahan diproyeksikan bisa menghasilkan enam ton bawang putih, dibutuhkan lahan sekitar 8,33 hektare untuk menghasikan 50 ton bawang putih.
Biaya tanam komoditas ini, menurut estimasi Dwi, sampai masa panen, tiap per hektarenya mencapai Rp 50 hingga Rp 60 juta.
Dengan demikian, untuk memproduksi bawang putih sesuai harapan, maka dibutuhkan dana sekitar Rp416 juta sampai dengan Rp 500 juta.
Jumlah tersebut apabila dikalikan dengan kebutuhan impor sebesar 400 ribu ton bawang putih, dibutuhkan biaya tanam sekitar Rp3,3 triliun hingga Rp 4 triliun.
Namun, untuk memenuhi ketentuan wajib tanam lima persen dari total impor 400 ribu ton, biaya tanam yang diperlukan sebanyak Rp166 miliar sampai dengan Rp 200 miliar untuk produksi 20 ribu hingga 25 ribu ton.
Dengan kata lain, terdapat beban tambahan buat seluruh importir dalam mengeksekusi kebutuhan impor sebesar 400 ribu ton bawang putih.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBPI) Piko Nyoto Setiadi menambahkan, pihaknya setuju dengan ketentuan wajib tanam bagi para importir, namun bantuan dari pemerintah untuk penyediaan bibit masih minim.
"Ternyata kita disuruh cari bibit, disuruh cari petani, disuruh cari lahan, disuruh membiayai," ujar dia.
Hal serupa juga diungkapkan oleh salah seorang pengimpor bawang putih berbendera PT Tunas Sumber Rejeki, Sutrisno, yang merasa biaya penanaman komoditas, termasuk penyediaan bibit, tergolong besar dan menguras kantong.
"Bibit lokal sekarang terlalu mahal. Bibitnya dari Rp 50 ribu-Rp 70 ribu per kilogram. Padahal untuk satu hektare lebih kurang pakai satu ton bibit," kata dia.
Hingga saat ini, Indonesia belum bisa melepas ketergantungan impor bawang putih, karena stok yang ada belum bisa dipenuhi dari dalam negeri.