Selasa 30 Jan 2018 05:12 WIB

Petani Mengeluh Harga Gabah di Sentra Produksi Anjlok

Panen raya kian dekat membuat harga gabah terus turun setiap hari.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Budi Raharjo
Warga menjemur gabah di tempat penggilingan padi Desa Manding, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (30/11). Menurut pedagang gabah setempat, Siklon Tropis Cempaka yang terjadi selama seminggu terakhir menyebabkan mereka kesulitan mengeringkan gabah, yang biasanya dalam 2-3 hari menjadi 7-9 hari, sehingga berdampak terhadap menurunnya kualitas beras.
Foto: Anis Efizudin/Antara
Warga menjemur gabah di tempat penggilingan padi Desa Manding, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (30/11). Menurut pedagang gabah setempat, Siklon Tropis Cempaka yang terjadi selama seminggu terakhir menyebabkan mereka kesulitan mengeringkan gabah, yang biasanya dalam 2-3 hari menjadi 7-9 hari, sehingga berdampak terhadap menurunnya kualitas beras.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Harga gabah di sentra produksi mulai mengalami penurunan jelang musim panen raya tahun ini. Harga gabah anjlok Rp 400 per kilogram (kg) dari harga gabah kering panen (GKP) di daerah sentra pekan lalu di atas Rp 5.000 per kg.

Ketua Kelompok Tani Timbul Jaya Desa Pleset Kecamatan Pangkur Kabupaten Ngawi, Jawa Timur Purwoto Eko Yuwono mengatakan, pada awal-awal panen bulan ini, petani bisa menjual GKP seharga Rp 5.200 per kg. Namun, saat ini harga gabah anjlok sampai Rp 4.800 per kg.

"Awal panen bulan ini harga bagus, petani senang. Tapi, sekarang ini hampir panen raya, semakin hari semakin turun," ujar dia melalui siaran pers, Senin (29/1).

"Petani tentu kecewa karena panen sudah ditunggu tiga bulan, hasilnya untuk bayar utang segala macam, kok harganya malah turun," kata Purwoto, menambahkan.

Purwoto menjelaskan, total luas lahan sawah siap panen anggota kelompok tani Timbul Jaya mencapai 328 hektare. Adapun rata-rata produksi padinya mencapai 8,5 ton per hektare. Dengan produktivitas sebesar itu, gabah dari Desa Pleset selalu dijual ke luar kota lantaran mengalami surplus sangat besar.

Menurutnya, para petani di Pangkur menyalahkan pemerintah yang berencana melakukan impor beras. Rencana impor beras itu pula yang membuat para tengkulak dan pengepul tidak mau membeli gabah petani dengan harga yang bagus setara dengan panen sebelumnya.

Ia pun tak habis pikir dengan keputusan impor yang akan semakin membuat petani terpuruk. "Kan aneh, waktu panen banyak kok malah impor? Kami jelas nggak terima. Kami punya produknya kenapa harus impor? Ini gabah melimpah, jangan petani terus jadi korban," ujar dia. Ia pun meminta pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras.

Kepala Dinas Pangan dan Perikanan Kabupaten Ngawi Sunito menyatakan, produksi beras para petani Ngawi dari luas lahan sawah yang mencapai 45 ribu hektare berjumlah 750 ribu sampai 800 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu, penduduk Ngawi hanya menggunakan sekitar 20 persennya saja. Dengan kata lain, sebanyak 80 persen hasil produksi beras Ngawi dipasarkan ke daerah lain.

"Makanya, kita minta jangan impor saat ini. Panen raya sudah mulai, mau beli beras masih ada banyak kok, nggak bakal kesulitan. Ini Ngawi dan sekitarrnya saja sudah cukup, selalu over product," ujar dia.

Petani di Desa Keyongan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Semiyati menyalahkan keputusan pemerintah melakukan impor beras yang membuat harga gabah makin turun. Padahal, harga jual gabah yang rendah bisa membuat petani merugi.

Mengingat, tingginya biaya produksi padi lantaran harga pupuk dan biaya tenaga kerja yang tinggi. "Kalau mau impor, petani ya nanti males nanemnya. Kan harga (jual gabah) jadi murah. Rekoso (menderita). Makan apa nanti kami, Pak?" ujarnya.

Ia melanjutkan, pada saat panen terakhir, harga gabah di tingkat petani sangat bagus. Kondisi itu membuat para petani bersemangat melakukan tanam padi. Petani pun sangat menjaga sawahnya dari serangan hama dan penyakit tanaman. Karena itu, petani kecewa manakala saat panen raya saat ini harga gabah cenderung turun mencapai harga terendah.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Tani Makmur, Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Boyolali, Mulyono, memohon kepada pemerintah agar urung melakukan impor beras. Petani, kata dia, tidak meminta banyak dari pemerintah asalkan pemerintah bisa menjaga harga jual gabah stabil.

"Saya mohonkan tidak perlu jadi itu impor beras biar harga gabah di petani bisa stabil. Tidak terlalu rendah sekali. Pemerintah bisa membantu, khususnya untuk daerah Nogosari, karena puncak panen turun sampai Februari mendatang," ujar Mulyono.

Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Boyolali, Pomo, menjabarkan, satu pekan lalu, harga jual GKP di lapangan berkisar antara Rp 5.200 sampai Rp 5.300 per kg. Namun demikian, harga jual GKP saat ini anjlok mencapai Rp 4.700 per kg di tingkat petani.

Mengenai produksi dan kebutuhan beras, Pomo melanjutkan, per Desember tahun lalu, Boyolali memiliki surplus beras sekitar 540 ribu ton. Kelebihan beras dijual untuk memenuhi kebutuhan daerah-daerah sekitar, seperti Purwodadi, Demak dan Semarang.

"Untuk cadangan juga masih cukup. Barang ada di rumah tangga. Sekarang ini petani hanya khawatir saat panen raya kok malah mau impor. Kalau jadi impor, kasihan petani. Malas nandur (menanam) petaninya nanti karena harga gabah terlalu murah. Apa petani tetap mau nanem? Kalau sudah dihantui harga nurun, ada impor, ya lemes jadinya," katanya.

Ketua KTNA Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Juharto menyatakan, petani mulai resah dengan rencana pemerintah mengimpor beras. Petani juga menyebutkan, rencana impor tersebut merupakan biang keladi atas kondisi harga gabah yang turun saat ini.

Dua pekan lalu, kata dia, petani menjual gabah panen yang manual Rp 5.800 per kg, sekarang tinggal Rp 4.800 per kg. Petani se-Kabupaten Pati minta supaya impor dibatalkan. "Pati ada surplus ratusan ribu ton beras. Kalau impor diteruskan, kita dianggap bangsa yang bodoh karena nggak bisa bertani," ujar Juharto.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement