EKBIS.CO, Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb.
Pak Ustaz, bagaimana ketentuan syariah tentang jual beli atau tukar menukar antarmata uang yang sama atau berbeda (valuta asing)? Dan bagaimana dalilnya menurut Alquran dan hadis? Mohon penjelasan Ustaz! Terima kasih.
Muhammad (Jakarta)
Waalaikumsalam wr wb.
Ada tiga ketentuan atau rumus terkait jual beli atau tukar menukar antara mata uang yang sama atau berbeda (valuta asing). Ketentuan pertama,
apabila ada tukar menukar atau jual beli antara mata uang yang sama, seperti mata uang rupiah dengan rupiah, mata uang dolar dengan dolar, maka harus tunai dan sama nominal serta nilainya. Seperti penukaran antara Rp 100 ribu dengan Rp 100 ribu rupiah recehan, harus dilakukan dengan tunai dan nominalnya sama.
Kedua, apabila ada penukaran antara mata uang yang berbeda atau dengan valuta asing, seperti penukaran rupiah dengan dolar, dolar dengan rial, atau rupiah dengan rial, maka syaratnya hanya satu, yaitu tunai. Oleh karena itu, dalam bab ini, diperbolehkan untuk mengambil margin atas penjualan mata uang yang berbeda. Dengan demikian, para pelaku bisnis money changer, misalnya, diperbolehkan melakukan transaksi valas dengan syarat tunai. Jika ada transaksi menukar atau membeli 100 dolar dengan rupiah, money changer boleh mengambil margin dari harga jual tersebut.
Ketiga, apabila ada jual beli antara mata uang dengan komoditas (sil’ah) maka yang menjadi referensi adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli. Boleh tunai atau tidak tunai, boleh mengambil margin, dan tidak disyaratkan tunai dan sama nominalnya. Semuanya berpulang pada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Sebagaimana yang lazim dilakukan masyarakat ketika membeli kebutuhan sehari-hari dengan rupiah, tidak syaratkan tunai dan sama, boleh tidak tunai, mengangsur, atau tunai, dan diperbolehkan mengambil margin sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu, transaksi yang berlaku dalam toko-toko swalayan, baik secara tunai maupun tidak tunai itu termasuk dalam kaidah atau rumus ketiga ini.
Ketiga rumus ini sesuai dengan hadis Ubadah bin Shamit dan Umar al-Faruq. Hadis dari Ubadah bin Shamit berbunyi, "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah). Dan hadis dari Umar al-Faruq, "(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai." (Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis Ubadah bin Shamit mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama harus sama nilai dan nominalnya. Sedangkan, hadis Umar al-Faruq mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama itu harus tunai. Sedangkan, transaksi antara mata uang yang berbeda boleh tidak sama, tetapi harus tunai. Sedangkan, transaksi antara uang dan barang itu tidak termasuk dalam kedua hadis tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak diharuskan tunai dan sama. Hal yang menjadi referensi adalah kesepakatan kedua belah pihak.
Kaidah yang berlaku tersebut di atas, itu juga sesuai dengan maqashid syariah, bahwa mata uang seperti rupiah, dolar, dan sebagainya adalah alat tukar, bukan komoditas. Uang seharusnya menjadi alat tukar yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelaku pasar dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menukar rupiah dengan rupiah nyaris tidak diperbolehkan kecuali tunai dan sama nominalnya. Dari aspek maqashid dan maslahat, dari ketiga rumus di atas yang paling banyak dilakukan adalah rumus ketiga, yakni masyarakat membeli dengan rupiah atau mata uang yang lain untuk membeli barang dan jasa. Dalam kaidah ini terlihat longgar, tidak disyaratkan tunai dan tidak disyaratkan sama. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS al-Hajj: 78). Wallahu ‘alam.