EKBIS.CO, PURBALINGGA -- Kerajinan sapu dari batang tanaman gandum khas Desa Kajongan, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, diekspor hingga ke Jepang. Menurut Kasi Kesejahteraan Pemerintah Desa Kajongan Makmun di Purbalingga, Jumat (23/3), kerajinan sapu batang gandum yang dinamakan hamada merupakan produk khas Desa Kajongan yang muncul sejak 1969 bersama dengan kerajinan sapu jenis lainnya.
Kerajinan sapu yang dihasilkan warganya, meliputi sapu hamada yang terbuat dari batang tanaman gandum, sapu ijuk yang terbuat dari ijuk pohon aren, serta sapu glagah terbuat dari tanaman rumput. Dari ketiga jenis sapu tersebut, kata dia, saat ini baru sapu hamada yang diekspor ke Jepang, sedangkan sapu jenis lainnya dijual di sekitar Purbalingga dan kabupaten tetangga.
Untuk kebutuhan bahan bakunya, lanjut dia, ada yang diperoleh dari Purbalingga, seperti rumput glagah yang tumbuh liar di kawasan hutan. Sedangkan batang tanaman gandum serta ijuk diperoleh dari luar daerah, seperti Demak, Tegal, Purwodadi, dan Semarang.
Jumlah pengrajin sapu di desanya, lanjut dia, mencapai 37 pengrajin dengan jumlah pekerja untuk setiap pengrajin bervariasi hingga puluhan orang, sesuai kapasitas produksinya. Ia mengaku ekspor sapu hamada memang tidak dilakukan secara langsung oleh pengrajin, melainkan dikirim ke pihak lain yang berada di Yogyakarta serta Bandung yang memiliki akses penjualan sapu hamada ke Jepang.
Meskipun demikian, lanjut dia, kerja sama tersebut telah mendorong roda perekonomian masyarakat desa setempat semakin berkembang. Terlebih mengingat saat ini telah menjadi sentra kerajinan sapu di Kabupaten Purbalingga.
Jumlah sapu yang dikirim setiap bulannya, lanjut dia, berkisar 1.000-2.000 sapu, bahkan bisa lebih sesuai pesanan. Dalam rangka mendorong pengembangan usaha kerajinan sapu tersebut, Pemerintah Desa Kajongan membangun kios di tepi Jalan Raya Bojongsari sekaligus untuk mempromosikan produk khas desa setempat.
Salah seorang pengrajin sapu hamada, Ahmad Zaenuri mengungkapkan sapu hamada mulai diproduksi sejak 1962. Bertepatan dengan banyaknya warga desa yang menanam tanaman gandum.
Hanya saja, lanjut dia, sejak beberapa tahun terakhir gandum tidak lagi ditanam sehingga pengrajin sapu hamada harus mendatangkannya dari luar daerah. Salah satunya dari Kabupaten Demak yang memang banyak petani setempat yang menanam tanaman gandum.
Karena tingginya permintaan sapu hamada untuk diekspor, dirinya tidak hanya memperkerjakan 20 orang warga desa setempat, melainkan ada warga yang ikut membantu membuat sapu serupa dengan dikerjakan di rumahnya masing-masing. Setiap pekerja, lanjut dia, bisa menghasilkan antara 13-14 sapu hamada berbagai ukuran dengan kualitas sesuai standar kebutuhan ekspor.
"Jika ditotal bisa mencapai 50-an pekerja yang ikut membantu membuat sapu hamada untuk memenuhi permintaan perusahaan di Bandung yang akan mengeskpornya ke Jepang," ujarnya.
Untuk harga jualnya, kata dia, bervariasi sesuai ukuran serta kebutuhan bahan bakunya karena ada yang dijual dengan harga Rp 200 ribu serta paling murah Rp 50 ribu.
Sunarta, pengrajin sapu hamada lainnya mengaku dalam sepekan bisa menghasilkan 800 sapu dengan dibantu lima karyawan. "Sapu hasil produksi saya juga dikirim Jepang melalui pedagang besar di Bandung dengan harga bervariasi antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per sapu," ujarnya.