EKBIS.CO, JAKARTA -- Melihat perkembangan industri minyak dunia, Pemerintah terus mendorong agar PT Pertamina (Persero) menjadi semakin kuat dari sisi hulu. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengemukakan, saat ini kontribusi produksi minyak Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) terhadap nasional, belum sebesar NOC negara lain.
"Produksi NOC di dunia umumnya lebih dari 50 persen dibanding produksi total nasional. Misalnya, Petrobras itu kontribusi produksinya di atas 80 persen dari produksi nasional Brazil. Saudi Aramco sekitar 99 persen, Petronas sekitar 58 persen," ujar Arcandra melalui keterangan tertulisnya, Jumat (30/3).
Arcandra menjelaskan sementara kontribusi produksi minyak Pertamina terhadap nasional baru sekitar 20 persen. "Itulah salah satu alasan Pertamina harus lebih diperkuat, karena ketahanan energi itu dimulai dari supply," tambahnya.
Sisi hilir Pertamina juga memainkan peranan yang tak kalah penting dalam mendukung keuangan korporat, terutama saat harga minyak rendah. Namun ketika harga minyak tinggi, peran sisi hulu menjadi lebih dominan.
"Perusahaan migas kelas dunia itu selalu berpijak dengan dua kaki, upstream dan downstream. Sewaktu harga minyak tinggi, upstream berjaya. Sebaliknya saat harga minyak turun, downstream yang berjaya. Ini masalah risiko, aksi korporasi yang mem-balance antara risiko masa depan terhadap harga minyak," ungkap Arcandra.
Ia mengungkapkan, jawabannya adalah dengan membangun atau merevitalisasi kilang dalam rangka memitigasi risiko harga tersebut. Dengan kilang, biaya produksi BBM menjadi lebih efisien dibandingkan impor.
Arcandra menjelaskan bahwa kebutuhan BBM Indonesia sekitar 1,7 juta barel per hari (bph) dan produksi dari kilang nasional sekitar 800 ribu per hari. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM (minyak olahan) nasional masih diperlukan impor sekitar 900 ribu bph.
"Spread (perbedaan) antara impor BBM dengan produksi dari kilang ini mencapai 5 persen. Kalau dihitung dari harga BBM RON 92 di kisaran 72 dolar AS sampai 74 dolar AS per barel, maka spread-nya sekitar U3,5 dolar AS per barel. Sehari kira-kira 3 juta dolar AS, atau sekitar 1 miliar dolar AS setahun efisiensinya," tambah Arcandra.