EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah masih mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Secara month to date (mtd) sampai dengan 26 April 2018, rupiah terdepresiasi sebesar 0,88 persen.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di Bank Indonesia, nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.879 per dolar AS pada Jumat (27/4), sedikit menguat dibandingkan Kamis (26/4) di level Rp 13.930 per dolar AS.
Sementara data Bloomberg USDIDR Spot Exchange Rate, perdagangan rupiah pada Jumat dibuka di level Rp 13.875 per dolar AS dan ditutup di level Rp 13.893 per dolar AS. Rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 13.875 sampai Rp 13.897 per dolar AS pada Jumat.
Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan, penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dan mata uang negara berkembang termasuk Rupiah didorong oleh kenaikan signifikan dari yield treasury AS dengan tenor 10 tahun yang sudah menembus level 3 persen.
Kenaikan yield treasury AS dipengaruhi oleh ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga AS. a merespons assesment bank sentral AS yang cenderung optimistis terhadap outlook indikator makro mereka. Sentimen kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif tersebut memberikan tekanan pada pasar keuangan regional di pasar saham dan obligasi yang pada akhirnya memicu keluarnya dana asing dari pasar negara berkembang.
"Di pasar SUN, investor asing membukukan net sell per 25 April sekitar Rp 21 triliun dalam dua pekan terakhir ini. Di pasar saham, investor asing sudah membukukan net sell sebesar 683 juta dolar AS sepanjang bulan April ini," kata Josua saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (27/4).
Josua menambahkan, dampak dari volatilitas rupiah yang meningkat tersebut juga mempengaruhi dunia usaha. Hal itu mengingat beberapa sektor ekonomi domestik masih mengandalkan bahan baku impor.
Jika tren harga bahan baku diikuti dengan pelemahan rupiah yang terus berlanjut, lanjutnya, maka akan mempengaruhi juga kegiatan produksi perekonomian. Jika biaya impor di pass through ke konsumen akan mendorong inflasi domestik. "Oleh sebab itu, korporasi perlu terus didorong untuk melakukan transaksi lindung nilai untuk memitigasi risiko nilai tukar sehingga pada akhirnya tidak mengganggu aktivitas ekonomi domestik," terang Josua.
Selain itu, kenaikan suku bunga di bank sentral global juga turut mempengaruhi investasi baik investasi portofolio dan investasi langsung di negara berkembang. Josua menilai, pemerintah perlu meningkatan efektivitas dan produktivitas stimulus fiskal untuk tetap menjaga growth rate differential dijaga di levelnya.
Menurut Josua, BI sudah melakukan langkah-langkah stabilisasi di pasar valas dalam meredam volatilitas nilai tukar rupiah dan pasar SUN dengan konsekuensi penurunan cadangan devisa. Kepemilikan BI pada SUN meningkat sekitar Rp 28 triliun dalam dua pekan terakhir ini."Menurut saya, BI cenderung akan melakukan langkah-langkah intervensi dan berhati-hati dalam penyesuaian suku bunga kebijakan hingga akhir tahun ini," ujarnya.
Josua menambahkan, BI akan memperkuat first line of defense dalam hal capital management. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain, dengan terus memperkuat cadangan devisa seperti rasio cadangan devisa/M2, cadangan devisa/impor, cadangan devisa/GDP dan cadangan devisa/utang jangka pendek.