EKBIS.CO, JAKARTA -- Karyawan PT Garuda Indonesia Tbk yang tergabung dalam Serikat Bersama (Sekber) mengancam akan mogok kerja bila pemerintah tidak merombak jajaran direksi perseroan. Mereka menilai terjadi kegagalan manajemen di perseroan yang membuat kinerja keuangan Garuda Indonesia menurun.
Berdasarkan Laporan Tahunan 2017 PT Garuda Indonesia Tbk, tercatat rugi bersih (termasuk extraordinary expenses) sebesar 213,4 juta dolar AS. Sebelumnya pada 2016, perusahaan BUMN tersebut mencetak laba bersih 9,3 juta dolar AS.
Kemudian passenger yield Garuda Indonesia pun turun dari 6,93 dolar AS pada 2016 menjadi 6,71 dolar AS di 2017 atau turun 3,17 persen. Pergerakan saham perusahaan berkode GIAA juga dinilai terus menurun.
Pada penawaran saham perdana (IPO) di 2011 lalu, harga saham GIAA mencapai Rp 750 per lembar saham. Lalu pada Q4 2016 hanya sekitar Rp 334 per lembar saham, angka itu menurun kembali pada Q4 2017 yakni menjadi Rp 338 per lembar saham. Kemudian, Sekber mencatat, pada penutupan 25 April 2018, saham Garuda hanya Rp 292 per lembar saham.
"Jadi jika tidak bisa dipenuhi (permintaan Sekber), dengan berat hati, kami di waktu yang tepat akan melakukan mogok. Kami mohon maaf kepada masyarakat Indonesia dan seluruh pengguna jasa Garuda Indonesia atas dampak yang akan dialami dari kegiatan itu," tegas Ketua Umum Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Ahmad Irfan Nasution kepada wartawan di Jakarta, Rabu, (2/5).
Ia menyadari, tindakan mogok kerja akan menambah masalah dan pelanggan akan dirugikan. Hanya saja, kata dia, sesuai Undang-Undang Tenaga Kerja, mogok kerja merupakan hak dasar dari pekerja.
"Kalau kami tidak didengar, maka ini legal. Kami tidak ingin mogok kerja, tapi kami bisa," katanya.
Sebagai informasi, pada 2015 jumlah direksi Garuda sebanyak tujuh orang. Lalu pada 2016 bertambah menjadi delapan, kemudian 2017 mencapai sembilan orang.
"Kalau standar airline lima saja cukup," tambah Ahmad Irfan. Ia mencontohkan, salah satu jabatan yang tidak diperlukan yaitu Direktur Kargo, sebab sebelumnya unit kargo hanya dipimpin oleh pejabat setingkat Vice President.
"Garuda Indonesia tidak punya pesawat khusus kargo atau freighter aircraft. Dengan dipimpin seorang direktur sejak 2016, kinerja direktorat kargo tidak meningkat dan hanya meningkatkan biaya organisasi," ujarnya.