EKBIS.CO, Lahan sub optimal. Begitu para praktisi dan ahli pertanian menyebut lahan rawa. Di Indonesia, lahan ini memiliki potensi sangat besar untuk dikelola menjadi areal pertanian, termasuk pertanian tanaman pangan.
Luas lahan rawa yang ada di seluruh Nusantara mencapai 34,93 juta hektare yang mencakup lahan pasang surut seluas 19,90 juta hektare dan lahan lebak seluas 15,03 juta hektare.
Dari luasan tersebut, sekitar 19,99 juta hektare (57,24 persen) merupakan lahan potensial untuk pertanian. Lahan rawa banyak tersebar di pantai barat, selatan, dan timur Pulau Kalimantan. Selain itu, terdapat pula di pantai timur dan utara Pulau Sumatra, pantai barat dan timur Pulau Sulawesi, serta pantai selatan Pulau Papua yang terdiri atas rawa pantai (salin), rawa pasang surut, dan rawa lebak.
Lahan ini menjadi bagian dari tumpuan pertanian Indonesia. Bagaimana tidak, sektor pertanian menggadang-gadangkan lahan rawa untuk dijadikan lumbung padi saat musim kemarau tiba. Di saat itu, lahan sawah tidak bisa ditanami. Berbeda halnya dengan lahan rawa yang justru menjadikan kemarau saat yang tepat untuk memulai bercocok tanam.
Di balik potensi luasan itu tentu juga banyak kendala yang dialami di lahan rawa. Kendala utama adalah kemasaman tanah, terutama di lahan rawa sulfat yang tingkat kemasamannya tinggi. Terdapat lapisan pirit (FeS2) pada kedalaman kurang dari 50 cm. Dalam keadaan tergenang (suasana reduksi), pirit aman bagi tanaman karena kondisinya stabil. Namun, begitu pirit tersingkap dan mengalami kontak dengan udara (O2), dia akan naik ke atas (teroksidasi) menjadi asam sulfat yang sangat masam (pH < 3,5). Besi dalam pirit pun berubah bentuk menjadi Fe3+ yang dapat meracuni tanaman. Apalagi, produksi rata-rata padi di lahan rawa rendah, hanya 2-3 ton per ha. Jumlah itu hanya setengah atau kurang dari angka rata-rata hasil padi nasional yang mencapai 6 ton per ha. Akibatnya, lahan rawa pun banyak dibiarkan terlantar sebagai lahan tidur.
Peneliti dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Dr Ir Mukhlis, MP menyatakan, strategi yang penting di lahan rawa adalah memberi bahan organik sebagai pembenah tanah. Bahan organik menjadi penyangga biologi yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang. Agar tujuan itu tercapai, bahan organik yang diberikan harus sudah dibusukkan (dekomposisi atau memiliki rasio perbandingan karbon dan nitrogen yang rendah). Bahan organik segar yang langsung diberikan ke dalam tanah dapat merugikan pertumbuhan tanaman karena terjadi proses tidak dapat bergeraknya nitrogen (immobilisasi) dan terlepasnya senyawa beracun yang dapat mengganggu tanaman.
Mukhlis melanjutkan, petani di lahan rawa umumnya menggunakan jerami atau sisa tanaman gulma sebagai bahan organik. Sayangnya, bahan tersebut mengandung selulosa yang tinggi dengan rasio perbandingan karbon dan nitrogen yang tinggi. Karena itu, dibutuhkan proses dekomposisi yang lama. Selama ini, petani menggunakan jerami sebagai pupuk organik dengan dua cara. Pertama, secara langsung, yaitu saat panen jerami langsung disebar ke petakan sawah, lalu air dimasukkan hingga tergenang. Jerami mengalami dekomposisi di lahan. Kedua, cara tak langsung. Jerami dikomposkan dulu lalu disebar ke lahan. Pemanfaatan langsung sangat menguntungkan untuk menghemat biaya dan tenaga kerja, tetapi jerami baru terdekomposisi lebih satu bulan. Produktivitas lahan rawa sangat beragam dan sangat tergantung pada kondisi tanah, tata air, dan penerapan teknologi terutama pengelolaan lahan dan varietas tanaman. Berdasarkan tipologi lahan, produktivitas padi sawah eksisting di lahan sulfat masam potensial berkisar antara 3,2 sampai 4,0 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektare, di lahan sulfat masam aktual berkisar 2,6 sampai 3,5 ton GKG per hektare, di lahan gambut berkisar antara 2,7 sampai 3,0 ton GKG per hektare, dan lahan salin berkisar antara 2,6 sampai 3,9 ton GKG per hektare. Hal inilah yang dijadikan alasan untuk menggagas inovasi dan teknologi pupuk hayati yang adaptif digunakan di lahan rawa.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) berhasil menemukan inovasi dan teknologi pupuk hayati yang diberi nama “Biotara”. Dengan peneliti penggagasnya adalah Mukhlis, Yuli Lestari, dan Arif Budiman. Biotara merupakan pupuk hayati penggabungan mikroba decomposer khas rawa (Trichoderma Sp), pelarut P, dan penambat N dengan media pembawa jerami padi atau tandan kosong kelapa sawit. Memiliki keunggulan jika diaplikasikan pada tanah masam lahan rawa dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan keberlanjutan sumberdaya lahan. Kegunaan pupuk ini berperan meningkatkan efektivitas pemupukan N, P, dan mempercepat pembusukan/penguraian bahan organik. Teknologi ini prospektif dikembangkan oleh agro industri pertanian.
Setelah jerami disebar ke petakan, Biotara disebar sehingga perombakan lebih cepat. Biotara juga tetap efektif di lahan rawa yang masam dan tergenang karena diseleksi dari mikroba unggul di lahan rawa. Petani dapat memetik keuntungan lain karena Trichoderma dalam Biotara berperan sebagai pengendali penyakit tular tanah (soil borne disease). Biotara juga diperkaya mikroba pelarut-P Bacillus sp, dan penambat N Azospirillium sp yang hidup di lahan rawa. Maka, seperti pupuk hayati lain Biotara dapat meningkatkan kesuburan tanah, menghemat pupuk, meningkatkan hasil, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Ketiga mikroba dalam Biotara itu berdasarkan penelitian Balitbangtan, dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen dan posfor sampai 30 persen serta meningkatkan hasil padi di lahan rawa sampai 20 persen. Jadi, dengan teknologi pupuk hayati Biotara bukan mustahil menyulap lahan rawa menjadi lahan padi produktif dengan hasil 6-7 ton per hektare. Hal diakui oleh Ubed, petani rawa pasang surut Desa Sido Mulyo, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kaltim), dengan menggunakan Biotara Ubed memperoleh hasil panen padi 6,8 ton GKG per hektare dibandingkan sebelumnya hanya memperoleh rata-rata 5-6 ton GKG per hektare. Keuntungan lain, dapat menghemat penggunaan pupuk kimia, hanya 2/3 dari dosis rekomendasi.
Hasil analisis ekonomi pemanfaatan pupuk hayati Biotara di lahan rawa sulfat masam Desa Karang Bunga, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, dihasilkan padi varietas margasari dengan dosis pemupukan NPK 300 kg/Ha+Urea 100 kg/Ha sebesar 4,10 Ton GKG/Ha, dan untuk dosis pemupukan NPK 300 kg/Ha+Biotara 25kg/Ha dihasilkan padi 4,32 Ton GKG/Ha. Terjadi peningkatan 0,22 ton GKG/ha jika menggunakan biotara dibandingkan dengan pemupukan biasa. Dengan harga gabah Rp 4.300/kg, petani bisa mengantongi keuntungan sebesar Rp 13,359 juta. Sedangkan untuk Desa Sido Mulyo, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur, hasil panen padi varietas Inpara 5 (dengan dosis pemupukan sama dengan lokasi sebelumnya) mengalami peningkatan 0,24 ton GKG/ha dari 6,56 ton GKG/ha (pemupukan biasa) menjadi 6,8 ton GKG/ha. Keuntungan yang diperoleh Rp 20,769 juta dengan harga gabah Rp 4.200/kg. Tertarik untuk mencobanya? Beralihlah ke pupuk hayati Biotara segera. (Mukhlis/Vika Mayasari/Balitbangtan)